"Tunggu! Kau ini siapa!" tanya Dias pada pemuda asing yang memegang tangannya sambil berlari.
Pemuda asing itu lantas berbalik sebentar dan menjawabnya sambil berteriak,"Sekarang itu tak penting, yang penting kita lari dulu!!!"
***
Kepala penyihir yang merupakan seorang nenek tua itu mengangkat tangannya ke udara, hendak memulai acara utama mereka malam itu.
"BAIKLAH MA---"
"Rithe!"
Sontak kepala penyihir berbalik ke belakang mimbar--tempatnya berpidato--dan matanya menemukan seorang laki-laki dewasa berbadan tegap serta kekar sedang menunggunya di bawah sana.
"Ah, maaf maaf, kalian bisa nikmati kembang apinya terlebih dahulu."
Selepas itu, ia bergegas turun ke bawah mimbar meninggalkan para warganya yang bersorak-sorai akibat meluncurnya kembang api.
"Kenapa kau memotong pembicaraanku, Rene?!"
"Tapi, kakak, anak kembar yang tadi sore anak laki-laki itu bawa sudah berhasil lolos," lapornya seraya mengusap peluh di pelipisnya.
Ah, Rene ternyata adik dari Rithe--kepala penyihir--pantas saja, Rene diangkat menjadi tangan kanannya.
Wajah Rithe seketika berubah menjadi pucat pasi setelah mendengarnya. "Tapi, aku sudah mengatakannya pada Lucifer."
Rene mengenggam pundak kakaknya yang sudah rapuh itu secara kasar. "Kau gila apa?"
"Ssh... Lagi---"
"Astaga! Cepat kau lihat sekarang mereka sudah dimana?" potongnya.
Rithe membelalakkan matanya kemudian bergegas menuju pondoknya diikuti oleh adiknya Rene.
Sementara itu, Zane sudah tiba di lapangan luas yang penuh dengan orang itu. Ugh, Zane sangat benci dengan keramaian tapi mau bagaimana lagi, ia harus menghadiri upacara bodoh ini jika masih ingin diakui oleh ibunya.
Matanya menelisik ke segala arah, mencari ibu dan adiknya Ace. Tak sengaja matanya melihat kepala penyihir beserta tangan kanannya sedang berjalan terburu-buru menuju pondoknya. Tanpa disadari, kakinya malah bergerak mengikuti kemauan rasa penasaran menuju ke pondok kepala penyihir.
"Mereka menuju ke portal untuk keluar dari desa," ucap Rithe, sang kepala penyihir.
Siapa? tanyanya dalam hati. Zane memutuskan untuk menguping di bawah jendela pondok, tepatnya area belakang.
"Sepertinya anak berambut merah itu merupakan warga desa sini," ucap Rene berasumsi seraya melihat ke cermin yang menampilkan lima remaja sedang berlari. Rithe yang menyihir cermin tersebut agar bisa melihat dimana kelima remaja tersebut.
Anak berambut merah? Hanya Ace yang berambut merah di desa ini, apa itu dia?
Zane mulai panik---sampai ia tak bisa berpikir dengan jernih, spontan ia berdiri dan membuat kepalanya terbentur jendela pondok yang terbuat dari kayu besi itu.
"Aw!"
Rene dan Rithe lantas saling bertatapan setelah mendengar itu.
"Zane?!" teriak Rithe memastikan.
Sadar bahwa ia sudah ketahuan, ia kemudian berjalan jongkok dengan cepat ke arah kerumunan orang di lapangan---masih sambil mengusap-usap kepalanya.
Tak mendengar adanya sahutan, Rene langsung bergegas mengecek ke luar jendela. Setelahnya ia berbalik dan menggelengkan kepalanya-tanda jika ia tak menemukan orang di luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triplets [HIATUS]
FantasyHari Ulang Tahun. Mendengar tiga kata itu terucap saja, anak-anak maupun remaja di dunia ini pasti membayangkan tentang kue, pesta, dan balon. Tetapi, beda dengan ketiga anak kembar ini. Yang mereka bayangkan di hari ulang tahun mereka adalah darah...