9 - Tongkat dan Zane

38 3 0
                                    

3 hari sebelum pelantikan kepala penyihir.

"Zane menurutmu mana yang bagus?" Kathleen berputar dan bergaya di hadapan anaknya, menunjukkan gaun yang akan ia pakai pada saat pelantikan nanti. 

Sedangkan, anak itu masih dengan rambut cokelat karamel acak-acakannya lengkap dengan piyama berdiri menilai penampilan ibunya sambil menahan kantuk. 

"Ck, ayolah bu, pelantikannya masih tiga hari lagi," decaknya kesal, "juga ibu itu salah pilih orang untuk menilai penampilan ibu."

Kathleen berbalik dengan alis berkerut samar, tidak setuju dengan apa yang diucapkan anaknya itu. "Memang apa salahnya ibu memilih kamu."

Zane menggelengkan kepala heran diiringi juga dengan decakan kesal. Apa ibunya benar-benar frustasi hingga detail semacam jenis kelamin Zane karena demi Lucifer maha agung, Zane sama sekali tidak tahu menahu apapun tentang gaun. Tanpa membalas perkataan ibunya lebih jauh lagi, ia bergegas pergi keluar. 

Setelah membersihkan dan merapikan dirinya, ia memutuskan untuk pergi membeli tongkat sihir baru di pasar. Tentunya, menggunakan uang yang dikasih oleh mantan kepala penyihir. Bukannya sombong atau apa, namun calon tangan kanan kepala penyihir kan juga harus bergaya di hari pelantikan. Ya, Zane sudah sedikit bisa menerima bahwa titel itu ia terima secara mendadak saat usianya masih muda. 16 tahun.

Krek 

Lantai papan yang diinjaknya berbunyi rapuh. Kakek tua berjenggot putih yang sedang sibuk memoles kristal di atas salah satu tongkat sihir mendongakkan kepala menatap pembeli keduanya setelah enam bulan yang lalu. 

"Ohohoho, hai anak muda!"

Si kakek menyimpan tongkat yang dipolesnya tadi secara sembarang demi menyambut sang pembeli dengan berjabat tangan. Dengan senyum kikuk, Zane membalas jabatan tangannya.

"Sini, biar kubawa kau melihat-lihat." 

Zane menyodorkan kedua telapak tangannya seraya tersenyum canggung. "Tidak, aku akan melihat-lihat sendiri." Lalu, ia berjalan mencari dan memindai tongkat sihir mana yang cocok untuknya.

Dibelakangnya, kakek tua itu mengikuti dirinya. "Kenalkan aku santa, kau tahu aku?"

Zane mengerutkan kening.

Selama yang ia pelajari di sekolah, santa itu pemberi anak-anak manusia hadiah kemudian saat dewasa nanti jiwa mereka akan dibawa oleh santa dan diberikan ke Lucifer. 

"Yeah, si bermuka dua," remehnya. 

"Kau pun sama."

Zane berbalik menghadap Santa. Ah, ia ingat bahwa Santa memiliki keahlian mengetahui sifat busuk orang dari melihat tatapan matanya.

"Kulihat tatapan matamu sama seperti tongkat sihir itu,"

Reflek matanya mengikuti apa yang ditunjuk Santa. Terlihat sebuah tongkat dengan pegangannya yang dihiasi mutiara berwarna hitam lalu puncaknya terdapat batu permata tanzanite. 

"tanzanite merupakan batu yang unik dan langka. Persis dengan tatapan mu, unik juga langka. Di satu sisi kau menunjukkan dirimu seolah-olah kuat dengan tatapan yang tegas namun siapa yang bisa mengelak kedatangan rasa sepi itu sendiri disaat tatapan rapuh juga kesendirian itu terkadang terselip di balik tegasnya tatapanmu."

Zane menyentuh pegangan tongkat itu dengan hati-hati, mutiaranya nampak berkilau. Ia takjub, sama sekali tidak mengambil pusing apa yang dibicarakan Santa tadi. 

"Terserah mu, pak tua!" ejeknya. "Aku ambil ini."

Walaupun begitu, pilihannya jatuh di tongkat sihir yang diocehkan pak tua itu. Diberikannya uang kemudian bergegas keluar sebab tidak ingin mendengar omongan panjang lebar pak tua itu lebih lama lagi. Ia tidak menyangka ternyata Santa memiliki kepribadian yang sok tahu kehidupan anak remaja. Dasar pak tua bermuka dua! Tidak tahu saja dia toko tuanya itu akan Zane bongkar nanti saat resmi menjadi tangan kanan kepala penyihir. 

Triplets [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang