Mereka bertiga masih terduduk di atas rumput. Wajah mereka terlihat sangat berantakan; rambut yang berantakan dan juga gigi yang belum disikat sama sekali. Baju yang mereka pakai pun masih baju tidur. Ketiganya sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak ada sama sekali secuil perasaan ketakutan yang terhinggap di hati mereka.
"Apakah ini logis?" Disa, sang kakak mulai angkat suara
Dias, si adik kedua mengangkat bahu. "Entahlah, bukankah ini bagus?"
Kernyitan heran muncul di dahi sang adik ketiga, Daisy. "Apa-apaan ini, bagus darimananya?"
Dias menghela napasnya lelah. "Yah, setidaknya kita takkan dikejar-kejar lagi oleh si psikopat brengsek, itu lagi 'kan?" Ia memandang kembarannya bergantian.
"Iya, tapi bagaimana kita keluar dari sini?"
Dias terkekeh kecil. "Ayo ikut aku," ajaknya sembari beranjak berdiri.
Disa mendongakkan kepalanya. "Memangnya, kau tahu jalan di hutan ini?"
Dias menaikkan alisnya, tak terima dengan perkataan sang kakak. Hei, begini-begini juga ia merupakan anak pecinta alam. Dan, dia sudah berpengalaman dengan yang namanya hutan. "Ya iyalah, aku tahu semua seluk beluk hutan," protesnya.
Daisy yang sedari tadi diam, memperhatikan sang kakak yang berinteraksi akhirnya memilih untuk mengikuti Dias. Lagipula, tak ada lagi waktu untuk saling berargumen. Dan juga, tak mungkin 'kan malam ini mereka tidur lagi di hutan terbuka. Hell, dia masih ingin hidup.
Disa yang melihat kedua adiknya meninggalkannya pun langsung bergegas mengejar keduanya, satu umpatan pun sudah berhasil lolos keluar dari mulutnya akibat ulah sang adik.
Tak lama mereka berjalan, suara gemericik air pun terdengar. Well, rencana awal mereka memang mencari sungai dulu untuk membawa persediaan air karena tak ada yang tahu kapan mereka akan keluar dari hutan belantara ini.
Hutan merupakan satu kawasan yang cukup besar dan butuh beberapa hari untuk keluar dari sana, itupun kalau kau beruntung.
"Itu sungainya!" seru Daisy senang yang hanya dibalas oleh dengusan sebal oleh sang kakak.
"Sstt ... diamlah, apa kau mau mati ditangkap pemburu?" desis Dias sambil membekap mulut cerewet Daisy.
Disa yang melihat itupun hanya mengerutkan dahi tak senang sambil melihat kedua adiknya---yang satu membekap mulutnya dan yang dibekap hanya menatap sang kakak tajam.
Disa menaruh jari telunjuknya di depan bibir, bertanda ia meminta kedua adiknya itu diam. "Sshh ... sudahlah, jadi sekarang apa, Dias?"
Dias melepas bekapannya dari Daisy. Membuat sang adik menatapnya dengan tatapan tunggu-saja-akan-ku-bunuh-kau. Dias yang memang dasarnya tak peka pun hanya mengedikkan bahunya acuh tak acuh sambil menjawab, "Kita dekati dulu sungai itu, pastikan sungai itu aman dari para pemburu."
Posisi mereka memang sedang merunduk di balik semak-semak. Tentunya, posisi itu sangat tidak menguntungkan mereka untuk dapat melihat sungai itu lebih dekat. Akhirnya, setelah mengumpulkan segenggam keberanian yang dicampur dengan kenekatan, mereka memutuskan untuk berjalan mendekat ke arah sungai.
Satu langkah....
Dua langkah....
Tujuh langkah....
Samar-samar terdengar suara seseorang tertawa.
"Hahahaha, astaga! Pipi anak itu memang seperti bakpau!"
Mereka saling bertukar pandang dalam diam. Itu merupakan suara seorang pemuda.
Oh ya, omong-omong kini posisi mereka sudah berada sangat dekat dengan sungai. Suasana di sekitaran sangat sepi bahkan kekehan kecil dari pemuda lainnya pun dapat terdengar dengan keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triplets [HIATUS]
FantasyHari Ulang Tahun. Mendengar tiga kata itu terucap saja, anak-anak maupun remaja di dunia ini pasti membayangkan tentang kue, pesta, dan balon. Tetapi, beda dengan ketiga anak kembar ini. Yang mereka bayangkan di hari ulang tahun mereka adalah darah...