Chapter 2

45.6K 3.5K 92
                                    

Chapter 2

Pagi ini Satya kira akan berlangsung seperti biasa, dengan Kak Fanny bercerita tentang pekerjaan arsitekturnya, ibunya yang sibuk menyuruh Satya untuk mengatur meja makan dan ayahnya meminum kopi sambil membaca koran. Namun, Satya lupa.

Pagi ini ada sepupu sok sinis, menyebalkan, cerewet, manja dan tukang baper* macam Stella.

Seharusnya Satya melewatkan sarapan kali ini saja.

“Ayo, Stell. Makan yang banyak,” ucap ibunya dengan aksen british-nya yang khas. Rambut keperakan ibunya diikat menjadi cepolan dan celemek melingkari badannya yang ramping.

Fanny, di sisi meja makan yang lain, ikut beramah-tamah dengan Stella. “Nanti Kakak anterin ke mall yang deket sini, ya. Biar gak bosen di rumah aja.” Kakak ceweknya yang baru lulus kuliah dan sudah mendapat kerja yang cocok ini tampak dua kali lebih menyebalkan bagi Satya. Pertama, karena bagi Satya, Fanny selalu mengganggu hidup tentramnya. Kedua, karena kakak ceweknya ini lebih ramah pada Stella daripadanya.

Stella dan Satya, bukannya mereka berdua sama-sama sinis? Kenapa tidak adil begitu? Pikir Satya, kesal sendiri.

Beruntungnya, suasana meja makan tampak biasa-biasa saja. Stella duduk di sisi yang berlawanan dengan Satya. Ayahnya di ujung meja, sementara ibunya di ujung yang lain. Fanny ada di sebelah Satya. Ruang makan berukuran sepuluh kali sepuluh meter ini tampak begitu lengang karena hanya ada mereka berlima.

Tapi yang empat saling mengoceh, sementara Satya terdiam.

“Makasih, ya, Tan. Sarapannya enak banget,” ucap Stella, yang meski terdengar tulus, namun tetap saja bagi Satya sok tulus.

“Iya, Stell. Kamu yang betah, ya, di sini,” balas ibunya seraya tersenyum tipis.

Ayah Satya mengambil lauk--lagi, dan menaruhnya di piring. Ia bertanya pada Stella. “Kamu mau pindah ke sekolah Satya, Stell?”

Sejenak, Stella berpikir. Ia pun mengangguk sambil mereguk gelas berisi air mineral. Tentu saja Satya melotot saking terkejutnya. Stella akan ada di sekolahnya?

“Kenapa lo pindah?” tanya Satya, terlihat jelas sekali kegusaran di wajah cowok berambut gondrong keperakan ini.

Stella, yang sedari tadi tidak sadar kehadiran Satya, kini mendongak. Ia mengerjapkan mata cokelatnya. “Eh?”

“Satya,” Fanny menegur tajam.

“Gak, kenapa lo pindah?” ulang Satya lagi tanpa peduli teguran kakaknya.

“Gue harus pindah,” jawab Stella dengan suara setegas mungkin. “Jarak dari sini ke sekolah lama gue bisa sampe dua jam, belum lagi macetnya. Mending gue pindah.”

“Kenapa harus di sekolah gue?”

“Karena sekolah lo deket dari sini, cuma lima menit,” tandas Stella, ia mendengus samar. “Sori aja, tapi gue juga sebenernya gak mau satu sekolah sama lo.”

“Ya udah, cari sekolah yang agak jauh, dong.”

“Lo aja sana yang pindah.”

Satya melotot. “Berani lo nyuruh-nyuruh gue?” tanyanya dengan nada membentak.

Ayah Satya langsung menengahi. “Satya,” tegurnya, lebih tajam daripada teguran kakaknya.

Satya mendengus, kembali menunduk dan memakan sarapannya. Tangannya dengan kesal mengaduk-aduk sup daging. Baru saja Satya ingin memasukkan sendok berisi makanan ke dalam mulutnya, suara ayahnya terdengar.

FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang