Chapter 3

42K 3.4K 215
                                    

Chapter 3

Suara dering telepon itu menganggu tidur nyenyak Stella. Ah, pikirnya kesal. Sudah diganggu oleh Satya, sekarang apa lagi? Ia menyalakan lampu di nakas tempat tidurnya. Mengernyit begitu sinar terang seolah menusuk mata. Inilah yang ia benci saat terbangun tengah malam.

Mencari ponselnya di laci-laci, akhirnya ia menemukannya. Stella termenung beberapa saat melihat nama penelepon; Daniel Oselyn. Kakaknya. Ia menutup lagi laci tersebut, kembali tidur. Benaknya teringat saat Daniel membiarkan Stella pergi di apartemen kemarin siang. Saat Daniel memohon padanya untuk tidak membenci orangtua mereka.

Mengesalkan.

Suara ponsel itu hilang. Lalu muncul lagi. Kali ini, Stella mencoba bersabar dan mengangkat telepon dari kakaknya.

“Halo?” sapaan itu terdengar seperti pertanyaan, bahkan di telinga Stella sendiri.

Suara hening menyambutnya. Seperti Daniel di sebrang sana sedang menyiapkan keberanian untuk mengatakan apapun yang harus ia katakan. Kakaknya selalu seperti itu.

“Stella,” itu hanya sekedar sapaan.

Stella tidak menjawab. Membuat Daniel meneruskan. “Stell, ada makan malam besok. Kamu mau dateng 'kan?”

Buat apa. Buat apa dia datang pada acara makan malam mereka? Bertingkah seperti mereka baik-baik saja? Seolah keluarga mereka tidak terpecah? Oh, bagus sekali. Mungkin karena semua sandiwara ini, Stella dapat lolos audisi drama.

“Kak Daniel udah tau jawaban Stella apa, tapi kenapa masih nanya?” Stella bertanya ketus.

“Stell, sekali aja Kakak mohon sama kamu supaya gak keras kepala—”

Dengan cepat, Stella memotongnya. “Aku gak bisa.”

Stella memutuskan sambungan telepon.

.

Wira tidak menyangka sepupu Satya itu berbaik hati menyewa studio musik yang cukup mahal. Meski Satya tidak bilang apa-apa hingga sepupunya melakukan itu, tapi Wira yakin ada unsur pemaksaan dilihat dari raut wajah Stella yang kesal. Seolah ingin mencekik orang.

Ini kali pertama Wira melihat seorang anak artis dari dekat. Wajahnya tirus dengan kedua bola mata besar berwarna cokelat almond. Rambutnya tergerai halus di punggung. Bibir Stella sangat tipis dan Wira yakin cewek itu tidak memakai riasan apapun. Tapi kenapa sangat manis?

Ibunya ngidam apa, sih? Wira tertawa kecil sambil memalingkan muka. Ngawur.

“Gue bilang ke lo, Sat,” suara Stella terdengar. Wira nyaris melongo. Dibalik wajah bidadari seperti itu, kenapa nada bicaranya macam iblis? “Gue cuma nyewa studio. Bukan anterin lo dan temen Kunyuk lo itu.”

TEMAN KUNYUK?

“Permisi, Mba,” Wira mendadak punya keberanian untuk berbicara. Ya, sedari tadi di mobil ia diam saja. Dan memang, di antara dia, Satya dan Stella tidak ada yang berbicara sama sekali. Stella yang pertama memecah keheningan. “Gue bukan Kunyuk. Gue punya nama. Wira.”

Stella yang tengah menyetir lantas melirik Wira, mendengus. “Kayak gue peduli nama lo aja.”

Biasanya, kesan pertama selalu buruk daripada yang kedua. Tapi, kenapa kesan pertama Wira terhadap Stella sangat bagus—bahkan Wira menganggap Stella bidadari—dan selanjutnya ia menduga Stella ini iblis berwujud bidadari. Kurang seram apa, coba?

“Ini terpaksa. Gara-gara lo, mobil gue juga disita,” ketus Satya. “Dan lo, jangan sekali-kalinya manggil temen gue Kunyuk.”

“Emang beneran kunyuk,” Stella mendengus—lagi. Wira heran kenapa Stella seringkali mendengus. Seperti hidupnya dihabiskan oleh sarkasme saja. “Gue bilang juga apa. Temen lo itu tetep cupu. Bener ‘kan, Nyuk?”

FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang