"Liking always appears at the beginning of the meeting."
.
.Langit tampak mendung dengan angin yang berhembus cukup kencang, beberapa daun kering tampak beterbangan mengotori jalan raya. Namun hal itu tidak membuat orang-orang merasa terganggu, karena musim gugur tahun ini terkesan lebih menyenangkan dibanding sebelumnya.
Kini aku duduk di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan normal, bersandar pada jendela yang terbuka, menatap pemandangan kota dengan perasaan gembira. Kehidupan baru akan segera dimulai.
Aku, Jeon Hana, akan pindah ke universitas di kota Seoul. Aku baru saja meninggalkan kota Busan beberapa jam lalu bersama ibu dan adikku. Ibu sudah lama merencanakan kepindahan ini untuk menjalankan bisnis tanpa meninggalkan kami untuk tinggal bersama.
Mataku sedikit menyipit begitu angin tiba-tiba berhembus kencang. Debu terasa sedikit memasuki mataku dan beberapa helai rambut menjadi kusut.
"Noona, apa kota Seoul selalu tampak seindah ini?" tanya seorang pemuda yang duduk di samping kiriku. (Panggilan 'kakak perempuan' oleh adik laki-laki)
Aku menoleh, menemukan adikku yang tengah terbuai akan pemandangan kota, matanya membulat sempurna dengan bibir yang sedikit terbuka, ia begitu terkagum-kagum. Aku jadi menatapnya ngeri.
"Mana kutahu, aku baru datang ke kota ini dua kali," jawabku malas.
Sekilas aku dapat mendengarnya mencibir, "Kampungan."
Sontak, tanganku bergerak menarik telinganya kencang. Membuat pemuda menyebalkan itu berteriak kesakitan.
"Argh, lepaskan!" pekiknya.
"Kau mengataiku apa barusan? Asal kau tahu saja, kau tidak menutup mulutmu sepanjang perjalanan." ucapku dengan mata melotot. "Jadi siapa yang kampungan, kau atau aku?"
Ia tampak tak terima. Kami terus bertengkar, saling beradu kalimat pedas hingga sebuah suara menginterupsi kegiatan kami.
"Sampai kapan kalian akan seperti itu?" tanya ibu yang duduk di kursi kemudi, tampak jengah akan aksi bar-bar dari kedua buah hatinya. Kami selalu bertengkar setiap hari, tak kenal tempat dan waktu, terkesan menyebalkan sekaligus memalukan. Namun ibu pernah mengakui, suasana di rumah akan menjadi hangat begitu terdengar suara kami.
Kulepaskan tangan dari telinga pemuda di sampingku dengan kasar hingga ia sedikit terhuyung. "Sampai Jungkook berhenti mengganggu hidupku."
"Memang siapa yang mau mengganggu hidup membosankanmu itu?" cibir Jungkook sembari mengelus telinganya yang berwarna kemerahan.
"Tentu saja, kau!"
"Besar kepala sekali, dasar kucing kampung!"
"Kau bilang apa? Dasar kelinci buluk!"
"Noona pendek!"
"Kau jelek!"
"Da—"
"Akan kubuang kalian jika terus seperti itu," sela ibu tajam hingga membuat kami terdiam. Aku dan Jungkook saling menatap sinis, seakan melontarkan kalimat pedas melalui tatapan, kemudian saling membuang muka pada jendela mobil.
Punggungku mulai terasa pegal karena duduk di dalam mobil selama berjam-jam, ditambah sosok kelinci buluk yang terus mengganggu saat diriku ingin tidur. Namun jauh dari itu, rasa penasaran dan bahagia lebih menguasai diriku.
Entah rumah seperti apa yang akan kami tempati nanti. Ibu bilang tempat itu lebih besar dibanding rumah kami sebelumnya.
Beberapa saat kemudian, mobil yang dikendarai ibu berbelok memasuki area perumahan. Rumah-rumah di sini tampak berjejer rapi, dihiasi pepohonan yang daunnya sudah berwarna kuning. Sulit kupercaya bahwa ada perumahan secantik ini di Seoul, sedangkan yang kutahu hanya tempat wisatanya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic Train
Fanfiction[200517] Aku tahu ada yang aneh pada diriku sejak kami pindah ke rumah baru. Setiap malam terdengar suara aneh yang membuatku terbangun. Suara kereta, tepat di depan rumahku. Kupikir aku sudah gila karena tidak ada orang lain yang mendengar suara it...