ten berjalan perlahan memasuki rumah tua itu, kakinya ia seret pelan agar tidak menimbulkan banyak bunyi.
jujur, ten juga tak begitu tau kenapa dirinya seberani ini. seperti yang kita tau, ten dan eve sama-sama penakut, jadi ten masuk ke rumah seram ini hanya bermodal kepo.
ten berpikir keras semalaman. apa yang dimaksud oleh suara itu? apa yang dimaksud si suara dengan disini? siapa si kamu yang dituju si suara? siapa yang si suara itu suruh pergi?
ten dan eve atau.. hanya salah satu dari mereka?
maka dari itu, ten yakin jawaban atas pertanyaannya itu bisa dijawab bila ia memasuki rumah ini. tapi sepertinya tidak juga, karna seperti kebanyakan rumah tua lainnya, tak ada yang spesial dari rumah ini kecuali bersihnya bingkai foto-foto keluarga.
ten berhenti di ruang tamu, tepat setelah melewati sebuah ruangan yang terdapat sofa besar nan reyot. ada 3 kamar yang tampak dari tempat ten berpijak sekarang.
tak ada yang menarik, tak ada yang bisa dicari untuk menemukan jawaban atas pertanyaannya. ten memutuskan keluar sebelum eve menunggunya lebih lama lagi.
"huaaahhh!!!"
ten langsung berbalik begitu mendengar suara eve berteriak. baru saja ia hendak melangkahkan kaki untuk berlari keluar, tubuh eve malah muncul duluan dari balik pintu masuk.
"eve? kenapa?" tanya ten begitu eve buru-buru masuk dengan wajah panik.
tanpa menjawab eve langsung memeluk ten erat dengan tubuh bergetar.
"hei ve? bilang kenapa?!" ten meninggikan suaranya, sebab gadis dipelukannya ini lebih terlihat seperti kerasukan.
"g-gue ketemu di-dia lagi," suara eve ikut bergetar.
"dia siapa?"
"demit yang kita jumpain waktu istirahat di pohon tumbang," eve mengangkat kepalanya lalu menatap ten dengan mata yang sudah basah. "t-tolong gue t-takut ten.."
tak ada yang bisa dilakukan ten selain memeluk eve, berusaha menenangkan gadis yang terisak dipelukannya itu.
bahkan tubuh gadis itu menjadi sangat dingin.
cukup lama eve menangis sampai akhirnya matanya menjadi sedikit bengkak.
"udah baikan? ayo kita harus keluar dari sini, lo pasti udah gak kuat lagi lama-lama disini kan?" ten mengusap lembut wajah eve yang memerah.
eve mengangguk pelan lalu mengekori ten sambil memegang bajunya erat. ten tertawa kecil melihatnya.
"gandeng aja kali, biar lebih kerasa aman."
entah mengapa eve malu-malu menggandeng lengan ten.
perjalanan mereka hari ini cukup aman setelah kejadian tadi pagi. eve tidak melihat sosok itu lagi dan ten tidak menemukan jawaban atas petanyaannya.
mereka hanya berjalan mengikuti kompas ten kearah utara. seperti biasa, hari sudah menjelang sore dan mereka masih tersesat.
"kalo gini bisa-bisa gue mati membusuk di hutan," gerutu eve saat mereka beristirahat untuk yang ke-4 kalinya.
"hush omongan lo," hardik ten.
eve hanya merengut sambil sesekali merenggangkan badannya. harusnya ten sudah terbiasa mendengar suara tulang-tulang eve yang sangat rapuh itu, tapi ten tidak bisa menghentikan reaksi tubuhnya yang bergidik saat mendengarnya.
"temen-temen gue masih lanjutin gak ya rencana awal," ucap ten tiba-tiba.
"rencana apa? yang kalian mau jelajahin hutan ini?"
"iya," ten mengangguk. "kalo ketemu mereka gue mau langsung ajak mereka balik, gila ini hutan kayak labirin."
"bener juga, perasaan setiap gue jalan sama aja pemandangannya. batang pohon terus daunnya rimbun banget."
"ya kan? harusnya hutan ini lebih dirawat sama pemerintah. kalo ada yang nyasar kesini kan susah baliknya."
"kita dong?" eve menunjuk dirinya dan ten bergantian sambil menaikkan alis.
"bener juga. nah iya berarti emang harus lebih diperhatiin ini hutan."
"makanya kita harus keluar dari sini, kuylah lanjut lagi," eve bangun dan menjulurkan tangannya pada ten.
ten menerima uluran tangan eve sambil berkata, "tumben baik mau bantuin."
"salah aja," decak eve malas.
"gak kok, cewek kan selalu benar."
"buruan jangan ngomong mulu," eve menggandeng lengan ten paksa, yang digandeng hanya tertawa.
"mau malem lagi nih. biasa gue suka malem hari karna damai dan adem, semenjak udah kemari gue jadi benci," kata ten.
"gue emang gak suka malem, karna gelap," sahut eve.
"loh? jadi lo selama ini ketakutan?"
"ya gak sampe ketakutan juga, cuma gimana ya... jadi rada parnoan."
"oh paham-paham, kayak yang gue rasain sekarang," ten mengangguk-angguk.
"jangan gitu," eve menyenggol ten.
"hahaha jangan takut gitu dong. kan udah gue bilangin, gue bakal lindungin dan jagain elo."
"tetep aja!" eve menunduk untuk menutupi rasa malunya. "pokoknya lo harus beneran lindungin gue."
"iya kanjeng ratu."
"gitu dong pengawal. btw, ratu apaan yang tasnya lebih besar dari pengawal."
"ya elo!" ten tertawa.
"diam saja kalau begitu."
"sepertinya kita harus bermalam di hutan ini lagi kanjeng ratu," kata ten mengacak rambut eve sambil tertawa.
eve hanya mendengus kecil.