Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Terkadang hidup menggariskanmisteri Yang takkan pernah bisa aku pahami
Leon Cendana, selama bertahun-tahun tinggal di Singapore kini ia akhirnya kembali ke kampung halaman orang tuanya yaitu Jakarta, Indonesia. Pindah dan beradaptasi dengan lingkungan asing di umur tiga belas tahun yang notabene adalah umur tanggung dimana Leon masih dalam masa transisi menuju usia remajanya tentu bukan hal yang mudah.
Leon ingat, ia harus dihukum oleh OSIS karena tidak menjalankan perintah sesuai intruksi. Mau bagaimana? Leon belum terlalu mengerti bahasa Indonesia. Lagipula, seingatnya, sekolah barunya ini bertaraf International. Kenapa para seniornya waktu itu malah memberi intruksi dalam bahasa Indonesia?
Untung saja, Leon bertemu dengan Cheryl Agatha.
Gadis yang Leon kira pemalu nyatanya adalah gadis yang ramah. Ia yang mau membantu dan menemani Leon sampai akhirnya Leon bisa benar-benar beradaptasi di lingkungan asing ini. Gadis berwajah oriental dengan rambut halus dan senyum manisnya.
Teman pertamanya di Indonesia yang berangsur menjadi sahabat dan tanpa Leon sadari juga berlahan menjadi cinta pertamanya.
Cheryl Agatha, cinta pertama Leon yang ia temui di bawah langit Jakarta.
Seperti aku yang tak pernah berhenti Mencaricelahmenaklukan hati
"Leon! You ruined my nails art!" rengek Cheryl memukuli bahu Leon dengan kesal. Leon dengan teganya sengaja menyenggol bahu gadis yang tadi tengah sibuk berkutat mengecat kuku tangannya di kelas.
"Hahahaha! You shouldn't paint you fingernails here, do it in your bedroom instead," tawa melengking disertai jawaban menyebalkan Leon justru membuat Cheryl semakin gemas memukulinya.
"Gue tuh lagi latihan biar nanti bisa kutekin orang lain tau! Ah, sebel lah sama Leon!" kini wajah Cheryl cemberut.
"Yauda yauda, ini nih, just do it on my fingernails then," tidak mau Cheryl semakin berlarut-larut, jadilah Leon memutuskan untuk mengorbankan ke-sepuluh kuku jarinya untuk menjadi alat latihan Cheryl.
"Nah, emang harus gitu. Tanggung jawab itu namanya," sahut Cheryl tanpa ragu langsung meraih salah satu tangan Leon.
Leon menelan ludah, berharap keputusannya tak salah.
Tapi tawa kecil dan senyuman di wajah Cheryl yang baru gadis itu tujukan padanya seketika membuat Leon sadar, ia tak mengambil keputusan yang salah. Ditambah lagi genggaman hangat tangan Cheryl pada tangan Leon. Melihat itu, Leon ikut tersenyum.
