Tatapan itu kosong. Pikiran sibuk berkelana kemana-mana. Otak bekerja ekstra membangun dunia imajinasi yang kadang gak ada logikanya. Pusing.
"Kak..."
Bubar udah, bubar. Acara lamunan selesai. Sekarang waktunya menghadapi kenyataan.
"Iya, kenapa?"
Dibalik kalimat itu ada rasa perih. Cuman Wendy yang tahu, padahal gak benar adanya.
Maaf tapi hari ini Wendy lagi mode melow, banyak hal dia pikirin sampe mikir kapan kiranya dia jadi ratu dari raja minyak. Agak ngaco memang.
Posisi lamunan dari tadi di balkon samping lantai 2. Disitu jelas bisa intip kegiatan orang-orang yang lagi jelajah wahana waterboom. Suara ribut sama pekikkan kesenangan jadi teman asik dan bikin Wendy gak ngerasa sendirian, bahkan tumpahan ember raksasa efeknya malah buat lega.
"Kak..."
Suga setengah merengek. Serius dilakuin sejak belasan menit dimana diam dulu terus mikirin cara. Cara buat doi bisa minta perhatian dari si kakak pacar, soalnya fokus banget mandangin anak-anak yang lagi lomba tahan napas dalam air. Gaya batu.
"Hem. Kenapa Suga?"
"Liat sini, tatap lawan bicaranya."
"Iya-iyah, kenapa?"
Akhirnya Wendy-nya ngalah sama ego. Bagaimanapun hari kayak gini bakalan datang juga. Sekeras apapun dia menghindar, gak akan berhasil. Sejauh apapun berlari, pasti ada saatnya untuk dibahas. Waktu emang jelas jahat, terus aja muter gak bisa berhenti buat beberapa saat aja.
"Aku jadinya di Malang."
To the point keahlian Suga. Gak ada kalimat basa basi dulu di depannya. Wendy ngarepnya yang panjang gituh, sampai 5 novel kalau bisa.
"UB, Kak. PPHI aku tembus. Bulan depan udah harus urus-urus berkas, survei juga ke sana buat cari tempat tinggal."
Sebisa mungkin ditanggapin gak pake gelagat aneh.
"Mama Papa kamu gimana?"
"Mereka seneng, disuruh cepet pergi dari Bandung."
Kalimat pertamanya berhasil.
"Seulgi?"
"Dia oke-oke aja, asal kalo pulang ke sini bawa oleh-oleh."
Masalah nada suaranya memang normal, tapi dari tadi wajahnya Wendy datarnya gak berubah. Suga ngeliatin aja, pasrah. Dia mah memilih nikmati waktu kayak gini mumpung masih ada.
"Kamu?"
"Suga?"
"Iyah, kamu Suga. Kamu nya gimana?"
Suga-nya senyum. Dia kasih senyum paling lebar yang dibisa. Dirangkul lah kakak pacar buat sama-sama ngeliat lagi ke arah anak-anak yang sekarang sibuk main perosotan air.
"Jujur yah, kak--"
Suara Suga itu selalu lembut di telinga Wendy, dalam situasi apapun.
"--aku seneng, perjuangan kita gak sia-sia."
"Tapi aku juga sedih, sekaligus dalam satu waktu."
"Aku belum minta maaf sama kakak. Maaf, yah. UNPAD nya gak lolos."
Wendy yang dengar kalimat ketiga walaupun lagi sedih tapi mensyukuri dalam hati. Gangguan yang jelas bentukannya, gak perlu dapet atensi lagi. Siluman kick off.
"Gak perlu minta maaf, Suga. Gak ada hubungannya, gak pas aku dapet itu dari kamu."
"Kakak gimana? Boleh kalau Suga pergi?"