Bukan Ana.

140 6 4
                                    

Setelah dari taman belakang sekolah Ana kembali ke kelas dengan wajah kesalnya.
Tingkah Nata berhasil menghilangkan mood Ana.

"kusut banget mbaknya kayak kain kurang di setrika" celetuk Tara saat melihat Ana masuk ke kelas.

"B aja!"

Rendi mencubit pipi Ana "duh duh duh imut deh kayo cembelut" katanya menirukan anak kecil yang belum lancar bicara.

"sakit tau ren!" sahut Ana lalu duduk di mejanya.

"Ana,, tidak baik jutek jutek seperti itu sama sahabat sendiri. Nanti dosa loh, ayok minta maaf!" Ucap Tara sambil menjulurkan tangannya.

Dino mencubit tangan Tara pelan "ihh lo kayak emak emak lagi ceramah tau ga?"

"kalian bisa tenang? Bu melan uda mau masuk kelas!" teriak Ferdi si ketua kelas. Kelas pun mendadak hening.

Saat jam pelajaran. Ana melamun, membayangkan Nata yang tidak jutek padanya, membayangkan Nata yang baik, romantis seperti di mimpinya.

"wahhh mbaknya ngelamun ya?" ucap bu melan guru Matematika yang berhasil membuyarkan lamunan Ana.

"ehhh ga kok bu melan yang cantik dan baik hati!" sahut Ana sambil menujukkan barisan gigi depannya.

"Ana kerjakan soal no 5 di depan. Sekarang!"

Ana pun pasrah.
Ana lalu maju untuk mengerjakan soal yang di berikan oleh guru matematika itu.
Ana adalah gadis yang pintar, jadi satu soal tidak akan menyulitkannya.

Jam pelajaran pun selesai.
Semua siswa berhamburan keluar kelas untuk pulang.

"balik sama siapa, bang rangga ada jam tambahan kan?" tanya Dino menepuk pelan bahu Ana

Ana berpikir sejenak.

"ahhh gue tau gue mau pulang sama siapa!" sahutnya dengan penuh semangat lalu meninggalkan sahabatnya itu.

Ana berjalan keluar kelas menuju kelas Nata.
Ana menunggu di depan karna kelas Nata belum keluar.

"na nunggu siapa?" tanya Rika saat melihat Ana bengong di depan kelasnya.

Ana menoleh ke arah Rika "Nata ada?"

"tuh masih di kelas!" sahut Rika menujuk orang yang masih duduk di mejanya. "gue duluan ya Na udah di tunggu sama Dino" tambahnya.

Ana hanya mengangguk lalu masuk ke kelas Nata ketika kelas itu sudah sepi.

"Nata.."

Nata berdiri dan menatap Ana "apalagi?"

"boleh ikut pulang? Bang rangga ada jam tambahan jadi Ana ga ada yang nganter!" sahut Ana menundukkan kepalanya.

Nata gemas dengan tingkah Ana. Nata merindukan gadisnya itu. Ahh gadisnya? Apa Ana masih menjadi miliknya setelah ia pergi saat kejadian itu?

Nata mengangkat dagu Ana agar melihatnya "ngomong sama gue apa sama lantai? Kok nunduk?

"A a anu.. G gu gue -

"gue ga mau nganter lo pulang!" ucap Nata lalu meninggalkan Ana di kelas itu.

Tiba tiba kepala Ana sakit. Dia meringis dan memegangi kepalanya.
Nata yang melihat itu pun berbalik dan melihat keadaan Ana.

"kenapa? Apa yang sakit?" tanya Nata panik.

"Ana..

Tanpa sempat menjawab. Ana pingsan. Nata panik.
Nata pun segera menggendong tubuh mungil Ana dan membawanya pulang.

Di dalam mobil. Pandangan Nata tidak pernah terlepas dari Ana.
Saat sudah di depan rumah Ana dengan hati hati Nata mengelus kepala Ana dan mengecup keningnya.

Nata mengetok pintu rumah Ana. Pintu itu terbuka dan menampilkan seorang wanita paruh baya.

"N ne nenek.." ucap Nata lirih

"ngapain kamu di sini?" tanya Rahma nenek Ana dan Rangga, lalu menoleh ke arah Ana yang masih di gendong Nata. 
"kenapa gadis pembawa sial ini? Dia pingsan lagi? Dasar merepotkan" tambahnya lalu memberikan Nata jalan untuk masuk.

Nata merebahkan Ana di atas sofa.

"bik ambilkan air putih" teriak Nata kepada ART dirumah Ana.

ART itu mengangguk "baik den, bibik ambilkan"

Nata sudah kenal dengan seluruh keluarga Ana. Karna Ana dan Nata tumbuh bersama dulu. Ayah Nata dan Ayah Ana sudah bersahabat sejak mereka belum lahir ke dunia ini.

"ngapain sih km nolongin dia? Km uda bagus pergi dari kehidupan Ana. Biar km ga kena sial juga sayang" ucap nenek Ana kepada Nata yang sudah dia anggap sebagai cucunya sendiri.

Nata tidak memperdulikan ucapan nenek Ana.
Nata menepuk pelan pipi Ana berusaha membuat Ana sadar.
Tapi Ana belum juga membuka matanya.

Pintu rumah kembali terbuka "Anaaa... " teriak Rangga yang baru sampai rumah.
"Ana kenapa Nat?" tanya Rangga kepada Nata.

"tadi kepalanya sa-

"Bang rangga.." panggil Ana lirih saat dia sudah sadar.

"iya sayang, ini bang Rangga, apa yang sakit?" air mata rangga lolos saat melihat adiknya lemah.

Ana mengelus pipi Rangga "jangan nangis, bang Rangga cengeng ihh, Ana ga apa"

"bang rangga cengeng kalo uda menyangkut kondisi kamu Ana" sahutnya menggenggam tangan Ana.

"ini minum dulu" rangga membantu Ana untuk duduk.

Nata yang melihat itu hanya diam, dia merasa tersentuh dengan perlakuan ke dua kakak beradik itu. Melihat itu Nata menjadi merindukan adiknya.

"lo uda sadar kan? Gue balik ya!" ucap Nata

Ana menoleh dan tersenyum "makasih ya Nata uda bantu Ana. Hati hati di jalan"

Nata mengangguk pelan. Sebenarnya Nata ingin menemani Ana, tapi dia merasa tidak pantas.
Nata pun pergi dari kediaman Ana.

Rahma mendekati cucunya dan menarik tangan Ana hingga terjatuh dari sofa
"km ini nyusahin sekali ya! Ngerepotin tau! Sedikit sedikit sakit!!"

Rangga yang melihat itu mencoba menghentikan neneknya.

"nek udah, Ana lagi sakit nek!"

"ehhh rangga, kalo bukan karna dia! Anak saya, ayah dan bunda kamu ga akan pergi Rangga!! Jangan lupakan itu!" ucap Rahma kemudian menarik rambut Ana yang tergerai

"ini? Kepala ini yang sakit ? Baru tau saya kalau orang egois dan pembunuh seperti kamu bisa merasakan sakit ya?" tanya Rahma yang masih menarik rambut Ana.

"ne ne nenek.. Bukan Ana yang bunuh ayah sama bunda" sahut Ana membranikan diri

Rahma semakin menarik rambut Ana karna mendengar Ana menjawab.

"brani ya kamu menjawab saya hah?"

"nenek sakitt, bang rangga tolong Ana" ucap Ana terisak.

Rangga berusaha melepas tangan Rahma di rambut Ana. "nekk udah.. Kasihan Ana"

Rahma melepas jambakannya dan mendorong kepala Ana dengan kasar.
Ana bangkit dan berlari ke kamarnya dengan sisa tenaga yang ia punya.

Bukan Ana yang membunuh ayah dan bunda.. Ana sayang mereka -Batin Ana

"Dasar pembunuh. Pembawa sial, benalu, merepotkan saja, seharusnya dia yang mati bukan anak saya!"

Teriakan Rahma yang masih terdengar dari kamar Ana.
Ana berusha menutup telinganya dengan bantal. Ana menangis dan terus menangis.

Jemput Ana ayah, bunda -batin Ana.

—————————

Terimkasih sudah di baca😊
Sampai jumpa di part selanjutnya.

Kam. 21mei 2020

Mari berteman.

Ig : ktt.ary15

AnantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang