Jam menunjukkan pukul 7.15 di pergelangan tangan kiri Rara, berjalan cepat dengan harapan tidak telat masuk kelas Pak Reza, dosen tampan di usianya yang sudah menempati angka 36 tahun itu akan jadi sangat menyebalkan kalau sudah mengenai disiplin waktu. Kata toleransi justru akan menjadi bumerang untuk mahasiswa yang melanggar aturan sepertinya sekarang.
Binar bahagia tercetak jelas ketika Rara melihat pintu kelas yang masih terbuka. Menghembuskan napas, gadis itu masuk dan melihat kelas yang menyambutnya seperti biasa-sudah ramai. Matanya bertemu pandang dengan Iren, sahabat dekatnya sejak SMA itu mengajak duduk di tempat yang mungkin saja sengaja Iren siapkan untuk Rara dengan lambaian tangan.
"Kebiasaan banget sih, lo," dengus Iren yang dihadiahi cengiran flat khas Rara. Iren tidak pernah lupa, ritual setiap pagi Rara itu melakukan perdebatan yang hanya akan menghabiskan waktu saja dengan pak supir.
"Debat sama Pak Maman dulu, tadi." Jawab Rara sambil melihat ponselnya.
"Lagian lo aneh. Difasilitasi malah kabur kayak ditagihin utang." Balas Iren masih dengan nada ketusnya. Kalau seperti ini, Iren jadi kesal. Yang kata Rara mempermudah, justru akan lebih sulit lagi kalau kejadiannya selalu begini.
Rara hanya mengedikkan bahu tanda tak ingin lagi membahas. Membuka buku, lalu menuliskan beberapa jawaban yang sudah Rara tulis di buku catatannya kemarin sore. Niatnya menyelesaikan tugas setelah kembali dari kampus kemarin, membuat Rara mengelus dada bersyukur. Setidaknya, Rara hanya tinggal menyalin agar tulisannya terlihat lebih layak.
Sebenarnya salahnya juga, sih. Mengingat Rara terlalu larut dengan akun twitternya karena sebuah thread yang sedang ramai dibicarakan, ia lebih memilih menyelesaikan membaca tulisan orang lain yang belum tentu benar juga. Ya, hingga melupakan tugas akhir bab adalah pilihannya daripada tidak bisa tidur karena rasa penasaran.
Sementara Rara fokus dengan salinannya, kelas mendadak hening karena beberapa orang memasuki kelas dan mengalihkan perhatian isi ruangan tersebut.
"Ren, diem." Rara menatap galak Iren yang dari tadi menyenggol lengannya. Itu kegiatan yang mengganggu, sangat.
Iren masih fokus pada apa yang gadis itu lihat di depan sana. Merasa diperhatikan, Iren mengalihkan pandangan ke sebelah kanan dan mendapatkan Rara yang menatapnya tajam. Alih-alih paham, Rara malah memberikan cubitan kecil pada lengan Iren. Iren meringis sekaligus jengah karena rupanya, Rara tidak mengerti. Jadilah Iren mengarahkan kepala Rara agar melihat ke depan-tempat dosen biasanya memberikan materi.
Rara diam. Iren memandang Rara dengan tatapan menggoda. Sedangkan yang ditatap, masih serius dengan perhatiannya pada apa yang dilihat.
"Biar gue tebak." Iren memperagakan gerakan berpikirnya. "Lo pasti terpesona sama salah satu dari mereka juga, 'kan?" Iren menyenggol-nyenggol lengan Rara dengan memasang wajah minta ditampolnya.
"Kalian dengarkan baik-baik apa yang akan disampaikan Revan dan Arkan 10 menit ke depan sebelum saya memulai kelas."
Mendapati Rara bergeming dengan tanda-tanda tidak terpengaruh godaannya, Iren berhenti melakukan kegiatan menyebalkannya itu dan kembali fokus pada dua pria yang terlihat akan menyampaikan sesuatu.
Di tempat yang lain, seseorang sibuk menormalkan tarikan napas dan degupan jantung yang dihasilkan sebab kian terasa hingga ke permukaaan kulit bersihnya. Rara, matanya menatap ke depan dengan fokus melebihi fokus Iren. Bicara tentang Iren, gadis itu hanya senyum-senyum saja mendengarkan apa yang para pria itu sampaikan. Sambil menyatukan kedua tangan memasang tatapan mendamba seorang Iren.
RARA♪
"Gue ngerti kalau kating tadi sememikat itu. Tapi lo nggak perlu matung seharian gini juga kali, woy! Serem gue liatnya." Sembur Iren ketika sampai di kantin. Melihat Rara yang hanya diam saja selama 4 jam dengan tanda-tanda ketidakminatannya untuk bicara, itu mengerikan.
Rara meminum jus strawberry yang Iren pesan tadi dengan tatapan sulit dibaca. Masih enggan membalas Iren yang sudah cuap-cuap melontarkan protesnya sejak mereka sampai di tempat ini.
"Kayaknya, gue jatuh cinta deh, Ren."
Kalau seperti ini, Iren jadi mau protesnya sama Mang Ujang. Kenapa bakso bentuknya bukan memanjang seperti bihun saja, sih? Sekarang, bakso yang masih bertekstur kasar itu langsung meluncur ke lambung sebelum Iren mengeluarkan surat kesiapannya. Rara yang melihat itu pun langsung memberikan minum pada Iren dan diterima dengan cepat oleh pemiliknya.
"Ck, lo bisa pesen lagi kalau emang gak akan kenyang."
Iren meraih tisu yang ia dapatkan dari dalam tasnya. Memandang Rara horor pertanda tidak terima dengan ucapan seseorang yang bergelar sahabatnya itu. "Lo pikir gue keselek gara-gara takut baksonya abis doang?!" Iren ngegas sambil menatap Rara tak percaya.
Rara menaikkan bahu disusul dengan helaan napas kecil. "Gue juga nggak ngerti," Rara meneguk jusnya. "Suka sama orang bukan hal baru bagi gue. Ini rasanya ... melebihi itu." Jelas Rara sambil mengaduk-aduk minumannya.
Iren menegakkan tubuh, menajamkan pendengaran. Hampir tidak percaya, bahkan sebenarnya tidak ingin percaya dengan apa yang baru saja gadis itu dengar. Ya, Iren rasa telinganya masih berfungsi dengan baik. Iren tidak salah dengar, kebingungannya selama 4 jam terakhir terjawab sudah.
"First sight, uh?" Iren bermaksud menyebalkan.
Rara diam, menatap malas. "Lo nggak boleh ketawa." Nyatanya salah, Rara serius. Oke, itu peringatan yang sulit Iren lakukan saat ini. Jadilah Iren hanya menunduk dengan bibir berkedut sambil geleng-geleng. Apa hal itu terdengar seperti sesuatu yang menggelikan? Ayolah, ini sulit dipercaya.
Tarik napas, hembuskan. Begitu terus yang Iren lakukan dengan susah payah. Rara masih mempertahankan ekspresi galaknya melihat Iren berusaha menahan tawa. Bahu Rara merosot, tatapannya melemah menjadi malas.
"Oke. Jadi, yang mana?"
Rara menarik sudut bibir sebelah kiri, menyamai sebuah seringaian. Membuat Iren memasang wajah bertanya dengan diam. Dahinya mengerut dalam dengan alis yang menyatu.
"Tiga-tiganya."
Iren menganga dengan mata yang menyeramkan.
Menuju jam keenam berada di kampus, Rara menghabiskan waktu yang tersisa dengan menulis di sebuah taman yang masih berada di area sekitar kampus. Selain suka membuat Iren tarik napas akan sikapnya, Rara juga sangat menyukai aktifitas menulis. Nah, kalau Rara suka menulis dan menumpahkan semuanya melalui tulisan, Iren lebih menyukai hal-hal berbau fotografi.
"Objek itu mewakili perasaan gue. Gue cuma jepret gambar, tapi ada kepuasan tersendiri. Orang mana paham." Iren bilang gitu.
Sudah 10 menit Rara hanya melamun. Memperhatikan mahasiswa lain yang berlalu lalang di depannya. Menghabiskan waktu luang dengan menyendiri dan menulis adalah hal yang paling Rara sukai. Tidak ada orang yang berada di dekatnya, termasuk Iren yang biasanya menempeli kemana pun Rara pergi.
Iren, gadis itu sudah pulang 1 jam lalu setelah mendengar ibunya menyuruhnya cepat pulang. Untuk apa, baik Rara maupun Iren juga tidak tahu. Karena kelas hari ini sudah berakhir, Iren jadi harus meninggalkan Rara sendirian sebab Rara masih betah berlama-lama di tempat ini dengan seperti ini.
Soal Rara yang setelah mengatakan 'tiga-tiganya' itu, Iren jadi ngeri sendiri. Katanya, "Selama 4 tahun vakum soal perasaan, sekalinya jatuh langsung sama tiga orang. Nggak habis think sama lo, gue."
Rara menatap malas laptop di hadapannya. Karena sudah terlalu kalut dengan banyaknya hal yang ingin disampaikan, Rara justru bingung mengekspresikan semuanya. Laptop di pangkuan sudah tertutup. Dari laptop, pandangan Rara beralih ke depan dan kembali melamun. Sebelum akhirnya ia menyadari satu hal.
Rara membawa tubuhnya pergi setelah membereskan laptop dan beberapa buku tugas yang sempat ia keluarkan. Berjalan cepat sambil memasang tampang sebiasa mungkin. Memperhatikan sosok yang ia ikuti sudah masuk ke dalam mobil, Rara hanya bisa menyesal. Memaki diri sendiri mengapa hari ini tidak membawa mobil saja.
"Gue nguntit orang?" Rara menggelengkan kepala sambil senyum-senyum sendiri, berlalu meninggalkan tempat persembunyiannya.
***
Seneng banget bisa publish cerita lagi. Setelah cerita yang kemarin aku unpub karena insecure, ya nggak tahu ya, gegana banget sama cerita satu itu.
I hope u guys like it. ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
RARA
ChickLitRasa bersalah, rusaknya suatu hubungan, berjalan pada lingkaran kehidupan yang memuakkan dan cinta pandangan pertama. Tidak rumit, jika seandainya Rara kembali menjadi sosoknya yang dulu. Terbuka dan nggak ribet. Baca, deh.