Bab 2

57 35 8
                                    

Setelah kembali dari minimarket terdekat untuk mengisi lemari pendingin yang semakin kosong, Rara duduk manis di kursi teras. Menunggu Iren datang sambil membuka ponsel. Memeriksa beberapa sosial media dan mendapati tag pada akun instagramnya.

Bukan hal biasa, tapi bukan hal yang baru juga. Kadang melalui snapgram, sampai feed dengan caption yang dikutip dari tulisannya, beberapa dari pembacanya menyertakan akun instagram Rara dan merespon baik cerita yang sedang Rara tulis. Apalagi, Rara dikenal sebagai sosok yang friendly di luar sikapnya yang, yah, seorang Rara.

Deru mesin terdengar. Rara beranjak dan mendorong gerbang, mempersilahkan mobil Iren memasuki garasi rumahnya. Membuat garasi tersebut terisi dua mobil. Audi hitamnya dan audi merah milik Iren.

"Bantu gue." Rara membawa beberapa plastik sambil menunjuk dengan dagu menyuruh Iren membawakan sisanya.

"WHAT?!" Iren yang baru keluar dari garasi langsung memberikan teriakan terkejutnya. Sambil menatap Rara dengan tatapan galaknya, Iren mendengus.

"Kayaknya, tamu, gue doang yang lo kurang ajar-in." Iren langsung sinis, tapi tetap diangkut juga belanjaan Rara. Rara memimpin di depan dan mulai memisahkan bahan-bahan yang akan diletakkan di kulkas dan yang tidak.

"Lo ngeselin banget. Nyuruh gue cepet-cepet dateng ini karena lo males ngangkatin semuanya sendirian, 'kan? Lo bener-bener belum buka pintu sejak dari minimarket. Lo bisa minta tolong Bi Inah, kalau lo lupa." Iren tarik napas, buang. Akan melanjutkan, tapi Rara menginterupsi.

"Gue gak mau. Bi Inah udah gue suruh tidur dan lo tahu, gue seniat itu nyusahin lo."

Kalau dosa tidak sebesar gunung dan seluas samudera, Iren tidak akan mikir dua kali untuk menggantung dirinya sekarang juga. Kesal, tapi rasanya Iren cuma mau guling-guling saja karena tidak bisa meluapkan kekesalannya pada manusia di hadapannya itu.

"Lo, serius?!" Kalau seperti ini, Iren jadi gemas sendiri. Tapi satu kesimpulan yang bisa ditarik. Rara memang tidak main-main mengenai ucapannya tadi siang.

Setelah kejadian Iren terpaksa membantu Rara tadi, di kamar Rara lah mereka berakhir. Iren masih sibuk dengan aktifitasnya mengganti saluran televisi, ketika Rara mulai bercerita. Pada akhir kisah, Iren mengeluarkan suara tingginya dengan tanda tanya besar di kepala kalau ini berbentuk komik.

Iren itu suka meledak-ledak sendiri. Responsif dan jujur dengan ekspresinya. Walaupun jadi harus 'nggak usah berlebihan, please?', Iren itu jadi tempat cerita yang paling bisa menghargai orang. Rara mengedikkan bahu, tanda malas menanggapi. Tetapi tadi, hal yang dilakukannya adalah menguntit! Tidak bisa dipercaya.

"Terus, lo mau apa?" Hening beberapa saat sebelum Iren melanjutkan, "Maksud gue—"

"Gue nggak tahu."

Iren kesal. "Lo yakin sama perasaan lo?" Pertanyaan ini, entah mengapa membuat Rara merasa tersudutkan.

Pernah jatuh cinta dan pernah berakhir dengan caranya masing-masing. Tapi untuk kali ini, hatinya mengakui namun masih terlalu dini untuk seserius itu. Rasanya, terlalu cepat. Banyak pertimbangan dan banyak yang harus dipikirkan. Selain masalah hati, ini akan dibawa ke masa depan. Jangan sampai, satu lagi hilang karena perasaan yang berujung. Rara itu manusia super rumit setelah cinta terakhirnya.

Sepuluh menit menjadi hening sejak pertanyaan Iren. Mereka bertarung dengan pikiran masing-masing. Iren yang masih menunggu jawaban dengan rasa tidak percayanya dan Rara yang bingung akan menjawab apa.

"Gue deg-degan pas lihat dia. Bahkan caranya napas, gue ngerasa buntu. Lo tahu, maksud gue, suka atau kagum sama seseorang itu—"

"Bukan hal baru bagi lo." Lanjut Iren dengan tatapan malas.

"Ya."

"Dan perasaan lo sekarang, melebihi itu." Iren menatap intens Rara yang dibalas anggukan kaku. "Ini terlalu cepet buat ngambil kesimpulan sejauh itu, Ra."

"Gue tahu."

Iren diam. Mengambil makanan ringan yang masih terbungkus rapi di sampingnya lalu melemparkan ke arah Rara. Setelahnya, hanya bunyi bantingan keras yang berasal dari pintu kamar mandi. Iren kalau bisa meluapkan emosinya agak sedikit, menyeramkan juga.

Rara beranjak dari ranjangnya setelah mendapat serangan tiba-tiba Iren. Mungkin sahabatnya itu sudah kesal setengah mati. Memandangi jalanan malam dari balkon rumahnya bukanlah hal buruk. Mengingat Rara sering melakukan ini ketika suntuk dengan pikirannya sendiri.

Menghirup napas dalam dan menghembuskannya pelan. Merasakan setiap angin yang menampar-nampar kecil pipi tirusnya, terasa sejuk untuk malam ini. Banyak pertanyaan dalam hatinya, pikirannya dipenuhi kebingungan dan hal yang terasa.. baru ini cukup membuat Rara pusing. Rara itu, bagaimana, ya? Yang jelas, tidak mau repot berpikir. Tapi kalau sudah berkaitan dengan perasaannya, itu bukanlah sesuatu yang tidak perlu dipikirkan. Astaga, Rara tidak mengerti lagi.

"Gimana rasanya kasmaran?"

Rara tersentak dan langsung menoleh ke belakang. Iren, masih dengan wajah kesalnya berjalan dan berdiri di sampingnya. "Gue pikir, lo ragu sama gue." Rara tersenyum tipis. Ini alasan mengapa Rara menyukai berteman dengan Iren. Gadis itu selalu mengkritik apa pun yang Rara lakukan dan rasakan. Tapi meragukan Rara, sejauh ini Iren belum pernah.

Iren diam, enggan menjawab.

"Kayak yang lo bilang. Ini belum sejauh itu sampai gue memastikan sendiri." Iren mengalihkan pandangan menatap Rara dan membalasnya dengan dehaman.

"Lo tahu, jatuh cinta itu definisi kekurangan." Rara bersuara lagi, "Beberapa orang punya peran yang nggak semuanya protagonis. Mereka jahat di tempatnya masing-masing."

Iren beralih. Meninggalkan tatapannya pada Rara dan memandang lurus ke depan. Terpikat pada lampu-lampu penerang jalan, Iren tetap diam. Rara membawa tubuhnya mengikuti Iren, sesekali menunduk lalu mengangkat wajahnya lagi.

"Gue takut. Banyak hal yang gue takutkan. Terlalu banyak dan," Rara menghela napas. "Lo bener. Seharusnya, semua gak semudah ini."

Kalau sudah bicara tentang hati, kabar buruknya adalah selalu berkaitan dengan luka. Sebagai konsekuensi, jatuh cinta itu selalu diikuti rasa sakit. Rara sudah sejauh itu memahami dan kali ini,

"Beberapa orang punya alesan kenapa dia memutuskan jadi sumber rasa sakit. Mungkin, ya, karena gue juga jahat." Rara memberi jeda sebelum akhirnya mengatakan, "Ren.. gue gak pernah bisa memilih kapan dan sama siapa gue jatuh cinta. Dan," Rara menghentikan ucapannya.

"Karena siapa lo terpuruk sama cinta itu sendiri." Iren menambahkan.

Iren memegang bahu sahabatnya dengan tatapan mengerti. "Kayak yang lo bilang. Mereka jahat di tempatnya masing-masing. Jangan pernah lupain hal itu."

Hening. Hanya suara kendaraan lalu lalang yang terdengar mengisi kekosongan suasana mereka. "Lo bisa pastikan semuanya. Kabarin gue." Iren beranjak menuju kamar Rara dan mengambil sling bag yang gadis itu bawa. "Udah malem, gue pulang."

Rara masih setia berdiri di balkon memberi tatapan sulit terbaca pada mobil Iren yang semakin menjauh. "Lo cuma terlalu takut gue jadi lemah dan mengacaukan semuanya, lagi."

Menutup tirai, Rara berjalan ke tempat tidurnya. Tidak ada yang berubah. Sepi dan sendirian adalah dia.

"Non! Gerbangnya Pak Maman kunci, ya!" Suara Pak Maman. Sampai lupa kalau Rara tidak ikut turun ke bawah karena Iren langsung pamit. "Iya, Pak!"

***

Aku harap kalian bertahan sama cerita nggak jelas ini😫

Ilove u.

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang