Bab 7

22 16 13
                                    

Rara diam. Kalau seperti ini, jadi menyesal kenapa rasa penasarannya terlalu jauh. Sudah begini, Rara harus bagaimana menyikapi perasaannya sendiri?

Yang Rara pikirkan, hanya bagaimana cara supaya hatinya tidak sejauh itu mengambil tempat. Tempat yang sulit dijangkau dan entahlah rasanya sangat tidak tahu diri. Membayangkan hatinya terluka karena cinta sendirian, sepertinya itu bukan termasuk dalam keinginan dalam hidupnya.

"Terus, lo mau gue respon gimana?" Di depannya, Iren membuka suara dengan tatapan malas setelah mendengar cerita Rara soal pertanyaannya pada Sarah tadi sore. Di sinilah Iren dan Rara berakhir, di rumah Iren. Rara tidak langsung pulang, mengingat keadaannya sangat tidak mungkin karena saat ini, Rara butuh teman. Rara butuh didampingi. Tapi, Iren? Rara jadi sebal sendiri sahabatnya itu justru menampilkan ekspresi tidak berminat menanggapi kegelisahan hatinya.

"Tanggapan lo, Ren.." Rara melas.

Iren berhenti mengunyah camilan ber-MSGnya, "Gue pikir lo nggak akan seserius ini. Tapi mau gimana lagi, gue juga percaya sama Mbak Sarah."

Rara masih diam, tidak terlihat ingin bicara apa pun. Iren melanjutkan, "Lo tahu 'kan, yang lo suka itu siapa? Kalau satu kampus tahu, lo bisa diserang sama para manusia yang menghambakan diri ke Pak Dosgan. Atau, lo lupa gimana reaksi anak kelas pas pertama kali dia masuk?"

Rara mengangguk lesu. "Gue tahu soal itu."

"Tapi masalahnya nggak sampe situ aja. Astaga! Lo bikin gue mikir malem-malem gini!" Iren mendengus, Rara memasang wajah sedihnya lagi.

"Kalau bukan karena lo anaknya orang yang gue sayang, males banget gue pasang badan buat dengerin lo misuh-misuh 2 jam sambil muter otak."

Rara melotot galak. "Maksud lo orang yang lo sayang ap-"

"Oke, oke, denger," Iren menginterupsi. "Lo baru kenal dia. Bahkan gue tebak lo nggak kenal dia, dengan baik. Garis bawahi! Nggak usah melotot lagi, gue keluarin mata lo lama-lama!" Iren jadi ngegas karena belum selesai bicara, Rara sudah membelalakkan matanya lagi.

"Lo cuma tahu dia gitu-gitu aja. Maksud gue, dia orangnya kayak gimana, punya kebiasaan apa, ya kayak orang yang emang kenal dia deket. Ya, maksud gue gitu. Astaga. Gue jadi muter-muter ngomongnya."

"Gue ngerti. Dan lo dari tadi emang muter-muter. Jadi, stop! Duduk, lo juga bikin gue pusing."

"Ck. Ya, lagian lo bikin gue bingung. Terus, lo mau gimana? Ngeraih Pak Zafran itu kayak menjangkau puncak Burj Khalifa, asal lo tahu aja. Bisa, tapi," Iren mendengus kasar dan melanjutkan. "Mau lo secantik model Victoria Secret atau seseksi gue, dia bukan tipe yang gampangan. Emangnya hati lo!"

"Kalau yang keluar nggak berguna lagi, gue kepang bibir lo, Ren." Jawab Rara tanpa menoleh.

Iren yang mendengar itu justru tertawa. Percayalah, Rara di luar sana dengan Rara di hadapannya ini masih orang yang sama namun sungguh bertolak belakang. Meski, ya, sama-sama galak tetapi Rara yang Iren kenal dulu ternyata masih ada.

"Ren, diem."

Iren diam mengatur napasnya lalu kembali memasang wajah serius. "Lo sendiri aja bingung nyikapin perasaan lo, gimana gue?" Iren melanjutkan karena tahu Rara tidak akan merespon. "Gini, mulai dari yang paling sederhana. Jujur sama hati lo sendiri."

Tatapan Rara beralih. Sayangnya, Rara menemukan keyakinan pada mata Iren. "Ra, gue nggak pernah nuntut lo soal apa pun, 'kan? Kali ini. Gue minta, jangan jadi pengecut lagi."

"Ren.."

"Gue rasa empat tahun bukan waktu yang sebentar."

"Maksud lo? Ren, gue pikir.." Rara menghentikan ucapannya, memang tidak ingin melanjutkan.

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang