Secangkir Kopi menjadi tempat ternyaman selain kampus. Aneh memang, kampus sudah menjadi bagian hidup Rara juga. Karena kadang, kalau sedang tidak ke cafe Rara menghabiskan waktunya di kampus sampai menjelang malam. Baik bersama Iren atau tidak, yang penting bukan di rumah.
Tidak ada yang bisa dibanggakan di sana. Hidupnya akan terasa monoton jika hanya berdiam diri. Rara merasa kesepian. Ya, terutama dengan kepergian Papanya beberapa hari lalu untuk tugas kantor. Meski biasanya, Rara akan selalu merasa biasa saja. Entahlah, Rara pikir hubungannya dengan Sang Papa ini benar-benar sebuah drama. Memuakkan untuk yang menyadarinya.
Mengenal Sarah, Laras, Winda dan Iren membuat Rara bisa merasa dibutuhkan. Selain rasa nyaman, akan sangat membahagiakan ketika kita bisa merasa kehadiran kita dihargai oleh orang lain. Selama ini yang Rara rasakan hidupnya hanya sendirian. Meski bukan dalam artian sebenarnya, tetapi itulah yang Rara simpulkan dalam hidupnya selama 4 tahun ini.
Sama seperti Winda, Rara sulit membuka diri. Bukan dalam hal menjalin pertemanan yang baik, tapi jujur terhadap apa yang dirasa. Kalau Winda orangnya nekat, kalau Rara, ya, diam. Diamnya sarat akan peringatan. Rara juga manusia, ya pasti akan kesal-kesal juga. Belum keluar saja, jadi belum ketahuan gimana-gimananya.
Sudah dua hari sejak Winda dirawat, Laras jadi sendirian. Laras dan Winda itu seumuran, masih SMA tetapi putus sekolah. Mereka punya sifat yang bertolak belakang. Kalau Winda ya, gitu. Sedangkan Laras sedikit childish, tapi pikirannya jauh ke depan. Malah kadang, lebih pintar dia dari Sarah. Melihat teman-temannya, Rara jadi mengerti kalau kelebihan dan kekurangan memang selalu pas pada tempatnya.
"Dor!" Rara kaget, serius. Laras ini lumayan menyebalkan juga. Rara memegang dadanya sambil memejamkan mata. Di sampingnya, Laras tertawa. "Kaget ya, Mbak?" Pakai ditanya. Untung jantung Rara masih nyangkut di tempatnya.
"Lumayan, Ras," Tawa Laras terhenti, wajahnya jadi cemberut. "Yah, Mbak.. aku udah seneng, loh, ini." Rara tertawa kecil. Laras itu wajahnya babyface. Kalau ngambek, ya, kelihatan lucu. "Mbak ngelamunin apa, sih? Dari tadi aku perhatiin matanya nggak kedip-kedip, kuat banget." Ditambah sikapnya, Laras lebih cocok jadi anak kecil daripada remaja usia 17 tahun.
"Lagi mikirin kamu." Laras menegakkan tubuh sambil menganga.
"Wah, Laras ada yang mikirin!"
"Berisik, Ras. Kamu nggak di depan, di belakang, di mana-mana selalu muncul suaranya." Sarah datang, menghampiri mereka yang tengah duduk di sebuah ruangan. Letaknya di belakang cafe, khusus untuk karyawan ketika menghabiskan jam istirahat. Dipakai makan, tidur atau duduk seperti yang dilakukan Rara, Laras dan Sarah sekarang. Tidak perlu berekspetasi tinggi, Secangkir Kopi hanya cafe kecil. Jangan dibandingkan dengan tempat kopi yang lain. Tapi yang ada di sini, belum tentu mereka punya. Wow.
"Mbak Sarah," Rara menyapa. Sarah mengangguk lalu membuka kotak makannya. "Mbak, aku berisik juga karena Mbak Rara dari tadi diem aja, ngelamun. Aku pikir ngelamunin apa, taunya lagi mikirin aku." Laras tertawa lagi. Sarah yang melihat itu memasang wajah remeh. "Yakin banget. Kok Mbak nggak percaya, ya?"
"Tanya aja sama Mbak Rara. Aku nggak bohong kalau hari ini aku jadi objek pikirannya." Sarah menatap Rara, meminta jawaban. Rara mengangguk saja. "Apa yang dipikirin dari Laras?" Nah, iya. Laras juga jadi penasaran. Kok bisa-bisanya Rara mikirin dia. "Bukan apa-apa. Tiba-tiba keinget aja pas awal-awal kenal Laras."
Laras berbinar mendengar Rara. "Duh, senengnya dipikirin.."
"Aku ngerasa waktunya nggak tepat aja, Mbak. Kasihan Winda lagi kayak gitu kalau udah ditanyain macem-macem." Rara membuka suara setelah Laras kembali ke depan. gadis itu akan pulang lebih cepat, jadi harus mengorbankan waktu istirahatnya dan kembali bekerja. Entah punya urusan apa.
Sarah mengangguk mendengar Rara. "Kamu bener. Dia itu sensitif kalau menyangkut masalahnya. Kamu kenal sendiri, gimana anak itu."
Sudah pukul 8 malam, Rara memutuskan kembali ke rumah setelah berbincang-bincang dengan Sarah mengenai Winda. Laras sudah pulang sejak dua jam lalu. Rara tidak ingin sampai larut, mengingat besok ada kuliah pagi jadilah Rara pamit duluan. Ketika baru keluar dari ruang ganti, Rara melihat Sarah tengah mengobrol dengan Arthur-karyawan di sini juga. Rara dan Arthur cukup dekat karena Sarah. Beberapa waktu ketika Sarah sedang bersama Rara, Arthur juga ada di sana menimbrung. Ya, setidaknya Sarah jadi tidak sendirian karena ditinggal Laras dan Rara. Sarah itu suka lembur, menghabiskan waktunya di Secangkir Kopi. Dengan tawa Sarah yang beberapa kali Rara dengar, Rara berpikir mereka sedang membicarakan sesuatu yang lucu. Berpamitan sekali lagi, Rara akhirnya pulang.
RARA♪
Sambil fokus memperhatikan ponselnya, Rara terus berjalan menuju kelas. Berulang kali dahinya mengernyit, lalu tersenyum lagi. Begitu terus sampai akhirnya Rara sampai ke tempat duduk. Untungnya, Rara mendarat dengan selamat.
"Selamat pagi."
Rara kelimpungan. Ponselnya sampai jatuh ke bawah karena tangannya selalu tremor kalau sudah berhubungan dengan laki-laki itu. Rara panik sendiri. Bukan karena masih bermain ponsel ketika dosen masuk, tapi kedahsyatan sensasi suara yang Rara dengar mampu mengguncang jiwa. Rara mengenali suara itu. "Nah, nah, kan. Masih gue pantau, belum aja gue tendang lo sampe terbang ke depan." Iren melihat kepanikan Rara. Menyadari Rara yang sudah sejauh itu mengenal Pak Dosgan hanya melalui suara, membuat Iren harus mengakui bahwa Rara serius soal ketertarikannya dengan laki-laki di depan sana.
"Ketemu, nggak?"
Rara mengangkat ponselnya, menunjukkan ia berhasil menemukan benda pipih itu. Dengan tangan gemetar, Rara nyengir kuda. Iren sudah malas. Jadi, bodo amat aja. Kembali fokus ke depan, meninggalkan Rara yang masih menghadapnya dengan bahu merosot dan wajah minta dikasihanin.
Selama materi berlangsung kalau yang ngasih materinya Zafran, mana pernah Rara fokus. Setelah selesai kelas, Rara malah ngerasa kalau tadi nggak belajar apa-apa. "Pak Dosgan sesat, nih. Gak bisa kayak gini terus." Iren mengatakan itu dan Iren yakin Rara mendengarnya.
"Pak!" Iren mengangkat tangan kanannya. "Iya?" Zafran mencari arah teriakan muridnya.
Sudut bibir sebelah kiri gadis itu terangkat. "Rara nggak paham semuanya tapi nggak berani bilang." Semua mata memandang Rara. Ada yang bingung, geleng-geleng sambil senyum, ada juga yang melotot. Karena kaget, mungkin.
"Rara?" Tanya Zafran mengabsen satu ruangan dengan pandangan. "Ini, Pak!" Tunjuk Salsa cepat-yang kenapa pas banget ada di sebelah kanannya.
Yang jadi sorotan, bergeming. Keringat dingin sudah mengalir sejak Iren memanggil Zafran tadi. Sekarang, Rara lagi menunggu waktu buat pingsan. Tapi, nggak pingsan-pingsan juga. "Benar, Rara?" Zafran bersuara lagi. Sensasinya langsung terasa. Saat Zafran memanggil namanya dengan nada rendah, Rara pusing. Iren menyenggol lengan Rara dengan ekspresi tak terbaca. Rara jadi sadar, "N- nggak bener, P- pak."
Mungkin teman-teman lainnya mengira Rara tengah gugup karena ketahuan tidak memperhatikan dosen dengan benar. Tapi tidak untuk Iren. Gadis itu tertawa jahat dalam hati. "Baiklah, jelaskan kembali dengan persis yang baru saja saya jelaskan." Tatapan Zafran tajam, mengintimidasi. Menusuk-nusuk bagian rongga dadanya. Pasokan oksigen dibutuhkan banyak untuk Rara saat ini, benar-benar butuh! Dari jarak sejauh ini, mata hitam Zafran begitu mendominasi kuat tanpa cela.
Rara diam. Yang lain masih menunggu. "Saya tunggu kehadiran kamu di ruangan saya."
Rara mau nangis.
Zafran melepas tatapannya. Sedangkan Rara jadi merasa tidak tahu diri saat ada rasa kehilangan ketika bola mata itu bergulir beralih ke objek yang lain. Iren puas. "Tuh, kan. Jangan jadi anak bandel, makanya." Sambil menepuk-nepuk kepala Rara. Suasana kelas kembali, setelah tertunda karena Iren.
Rara ingat, Iren!
Menoleh, Rara memberi tatapan tajam pada Iren. Tetapi Iren, gadis itu terkekeh puas di tempatnya.
"Ren.."
***
Kata untuk Iren?
KAMU SEDANG MEMBACA
RARA
ChickLitRasa bersalah, rusaknya suatu hubungan, berjalan pada lingkaran kehidupan yang memuakkan dan cinta pandangan pertama. Tidak rumit, jika seandainya Rara kembali menjadi sosoknya yang dulu. Terbuka dan nggak ribet. Baca, deh.