Bab 3

57 35 5
                                    

Yang diharapkan Rara setiap pagi adalah tetap diperbolehkan masuk dan mengikuti kelas. Seperti pagi ini, berdoa sudah menjadi rutinitasnya sebelum ke kampus. Setengah berlari, Rara membelah kerumunan mahasiswa yang menghalangi jalannya sambil meminta maaf berulang kali.

"Santai aja, Pak Reza telat 30 menit." Suara itu memaksa Rara melambatkan langkah buru-burunya. Mendapati seorang pria berjalan di sampingnya dengan langkah menyamai Rara.

Cukup terkejut, namun bisa diatasi. "Oh, Rik. Gue pikir siapa." Rara memberikan senyum.

"Lo selalu berangkat siang, kenapa?"

Mungkin Erik ini mewakili pertanyaan dari satu kelasnya. Menjadi perhatian ketika kelas sudah ramai dan Rara baru akan duduk di kursinya adalah hal yang sudah biasa namun tak urung membuat teman-temannya tetap penasaran.

"Busnya gak pernah dateng awal." Hanya itu. Rara tampak acuh ketika Erik memasang wajah bingung.

"Lo bisa bareng gue, kalau itu masalahnya." Rara beralih tatap. Masih dengan langkah pelan, Rara memperhatikan Erik yang menatapnya tulus. "Gue gak pernah masalah soal itu." Sambil tersenyum, Rara justru membangun tembok besar pada dirinya.

"Oke." Nadanya terdengar kecewa. Rara hanya memasang senyum manis semanis dirinya saja mendengar itu. Suasana menjadi awkward karena mereka memang jarang mengobrol. Benar, sulit membangun komunikasi yang baik dan satu frekuensi kalau tidak dengan orang terdekat.

"Gue duluan, ya." Pamit Rara ketika menemukan Iren tengah menatapnya malas dari depan kelas. Rara berjalan lebih cepat meninggalkan Erik yang hanya terdiam lalu mengangguk kecil.

"Masih belum bawa mobil?" Iren membuka pembicaraan setelah melewati pintu. "Mungkin besok."

"Lo udah ngomong besok dari kita masih jadi maba." Balas Iren cepat dan, sewot.

"Lo tahu gue, Ren." Rara merangkul bahu Iren hingga mereka sampai di tempat duduk.

Iren memasang wajah muak tanpa dibuat-buat. "Lo bareng sama Erik?" Tidak menutupi rasa penasarannya, Iren langsung bertanya tentang apa yang ia lihat. Rara itu manusia yang tidak mudah ditebak jalan pikirnya. Rara sulit membuka diri kalau bukan sama orang yang memang dekat dengannya. Melihat Rara bersama teman kelasnya mengobrol di luar tugas saja, itu patut dipertanyakan. "Gak sengaja papasan." Rara malas bahas Erik. Sudah terlanjur kesal. Entahlah, kesal saja. Poor Erik.

"Selamat pagi, semua." Pak dosen datang, menghentikan Iren yang akan merekrut Rara menjadi narasumber dadakan karena insiden kebersamaannya dengan Erik tadi.

"Pagi!" Satu kelas menjawab penuh semangat. Entahlah, mungkin mereka sedang antusias-antusiasnya belajar. Setelah mengeluarkan buku tugas, Rara mengalihkan pandangan dari menunduk menuju ke depan. Mencoba fokus, malah jadi gagal fokus.

"Ren.." Rara memanggil Iren tanpa menoleh. Tatapannya fokus pada satu objek, tidak bisa diganggu gugat. "Lo kesambet?"

Rara memegang erat tangan Iren yang berada tak jauh darinya. Menolehkan kepalanya ke arah Iren dengan berat hati sambil memasang wajah melas minta dikasihanin. Iren menatap lamat-lamat apa yang menjadi fokus Rara beberapa saat lalu. Kemudian beralih lagi, "Dia, kan ..."

Iren menggelengkan kepalanya berulang kali. "Astaga, Ra! Gue pikir lo naksir salah satu kating kita!" Iren menutup mulutnya dengan kedua tangan. Kalau begini, Iren jadi pusing mikirinnya. Tapi jujur saja, Rara lebih pusing. Hanya mengangkat bahu lalu menunduk, membiarkan Iren yang masih melongo tidak percaya.

Iren menepuk-nepuk punggung Rara pelan sambil berbisik, "Lo harus fokus. Ingetin gue buat nyelesain masalah ini sama lo."

Rara mengangguk saja.

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang