Rara sudah berada di cafe setelah mengikuti 4 jam kelasnya hari ini. Winda baru mengabari dirinya masuk UGD setelah Rara benar-benar baru menginjakkan kakinya di Secangkir Kopi. Jadilah mereka pergi bersama ke rumah sakit ketika sudah jam pulang.
Ngomong-ngomong Iren, gadis itu juga ada di dalam mobilnya sekarang.
"Mbak Rara udah punya mobil sebagus ini, kenapa masih mau kerja?" Laras membuka suara setelah hanya keheningan di antara mereka. Bermaksud menghilangkan ketegangan karena Winda dan kondisinya yang bisa dibilang mengkhawatirkan. "Emang kenapa kalau udah punya mobil bagus, terus masih kerja, Ras?" Ini Sarah. Mengalihkan tatapannya pada Sarah yang duduk di sampingnya, Rara tersenyum.
Ya, jujur saja Rara kerja ini hanya untuk mengisi waktu. Di luar dari Rara kurang menyukai suasana rumah dan pusing karena tugasnya yang semakin hari semakin banyak, semakin sulit dan tentu, semakin membuatnya jengah. Kalau bekerja kan, bisa memiliki penghasilan sendiri. Waktu yang dihabiskan juga jadi lebih berguna dan poin utamanya itu dikelilingi orang-orang baik. Setidaknya teman Rara jadi bukan hanya Iren.
"Nggak papa sih, Mbak." Laras nyengir aja. "Kerja itu nggak cuma biar punya mobil. Ya, apa pun yang menyangkut uang. Kebersamaan kayak kita sekarang ini, belum tentu orang yang punya mobil ngerasain juga."
Di sebelahnya, Rara fokus nyetir sambil sesekali melihat ke Sarah dan yang dilakukannya dari tadi itu hanya diam menampilkan senyum. Kadang juga mengangguk kecil. Mau dilihat dari sudut mana pun, Rara mengakui apa yang diucapkan Sarah itu benar. Sangat benar. Akan sulit hidup di tengah-tengah orang yang tidak bisa menerima kita. Makanya kalau sudah diterima, ya harus dipertahankan.
"Uang mulu, sih, target lo. Makanya nggak kaya-kaya." Iren bikin kaget semua yang ada di mobil. "Ish, Mbak.. uang itu harus jadi motivasi hidup. Segalanya emang bukan tentang uang, tapi semuanya butuh uang. Waktu aja diibaratkan uang. Dari situ kan, udah kelihatan."
Rara dan Sarah geleng-geleng dengarnya. "Itu mah, lo mata duitan."
"Jadi, gimana sensasinya minum teh tarik dengan 7 shoot ekspresso?" Ini Laras. Winda yang mendengar itu langsung memberikan cubitan kecil pada lengan Laras yang berada di samping brankarnya. "Lihat, keadaan Winda kayak gini aja masih tetep sakit cubitannya." Laras meringis sambil mengusap-usap lengannya yang terasa panas.
"Gimana keadaan kamu, Win? Udah lebih baik?" Sarah bertanya. "Lumayan, Mbak." Tapi kalau diperhatikan, sepertinya keadaan Winda ini cukup serius. Wajahnya masih sepucat kemarin, tubuhnya terlihat lemas dan suaranya juga sedikit serak.
"Lo nggak lagi nyoba bunuh diri, 'kan?" Iren, hubungannya dengan Winda ini sebenarnya baik-baik saja. Tapi tidak tahu juga, yang kelihatan dari luar selalu saja pertarungan. Tidak pernah akur. Winda menatap Iren tajam dan tentunya Iren tidak mau kalah, jadilah mereka tatap-tatapan.
"Lo berdua, bisa nggak, nggak usah ribut dulu?" Winda mengalihkan tatapannya ke Rara, "Akhirnya ngomong juga. Gue pikir nyawa lo ketinggalan di jalan." Rara diam. Kalau sudah begini, malas melerai. Rara juga yang kena. Di sampingnya, Iren tertawa. Kali ini judulnya 'ngakak asli, nggak boong'.
"Berisik!" Jawab Rara, Winda dan Laras.
"Iya, iya! Galak banget sih, lo semua." Iren cemberut. "Udah nggak usah gitu mukanya, jelek." Sarah, kenapa jadi ikut menyebalkan?!
RARA♪
"Perkembangan perasaan lo, gimana?"
Masih terlalu pagi dan Iren sudah melontari pertanyaan yang berat. Iren ini tidak bisa sekali saja untuk setidaknya jangan merusak pagi Rara, gitu. Sudah tahu urusannya bukan perkara mudah, Iren bertanya mengenai perkembangan. Mana soal hati. Tidak ada bagus-bagusnya didengar.
![](https://img.wattpad.com/cover/226048759-288-k207512.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
RARA
ChickLitRasa bersalah, rusaknya suatu hubungan, berjalan pada lingkaran kehidupan yang memuakkan dan cinta pandangan pertama. Tidak rumit, jika seandainya Rara kembali menjadi sosoknya yang dulu. Terbuka dan nggak ribet. Baca, deh.