Bab 8

24 7 2
                                    

Sudah dua hari sejak malam itu. Malam di mana akhirnya Iren mengatakan semuanya. Rara tahu, Iren sudah terlalu sabar menghadapi sikapnya selama ini. Tapi untuk kembali, hatinya menolak meski ingin.

Bagaimana dengan rasa bersalahnya selama ini, sudah cukup menyiksa Rara. Rara seperti tidak pantas merasa baik-baik saja setelah semuanya. Iren, gadis itu masih terlihat menghindari Rara. Tidak ada pembicaraan apa pun antara mereka.

"Kertas ujian lo. Sorry, gue baru kasih sek—"

Tanpa menerima, Iren beranjak dari kursinya. Meninggalkan Rara yang bergeming memandangi punggung Iren yang semakin menjauh dan menghilang dibalik pintu ruang kelas mereka. Bahkan untuk melihat Rara saja enggan.

Rara memutuskan kembali ke tempat duduk setelah meletakkan sebuah kertas di atas meja Iren. Sendirian, ya, itulah Rara. Bukankah biasanya memang seperti itu? Entahlah, rasanya berbeda saja.

"Dari lama harusnya dia sadar, lo emang nggak pantes punya temen." Suara itu memaksa Rara menghentikan aktifitas mengetik di laptopnya. Mengalihkan pandangan pada seorang gadis yang menempati kursi Elina—di samping kanannya. Rara acuh dan mencoba kembali fokus pada layar biru di hadapannya.

"Gimana?" Leah—teman kelas sekaligus mantan sahabatnya itu menarik sudut bibirnya ke atas, menampilkan senyum cemooh. "Ayolah, lo selalu diem aja kalau gue ajak lo ngomong," Leah menelengkan kepalanya ke arah Rara. "Lo nggak seru." Dan beranjak meninggalkan Rara.

Sedangkan Rara hanya bisa membuang napas kecil. "Lo bener-bener berubah."

"Gimana sama lo?"

Rara menoleh, mendapatkan Iren yang sudah kembali di tempat duduknya. Sejak kapan, Rara juga tidak melihat bagaimana Iren bisa sudah berada di sana tanpa menyadari kehadiran gadis itu. Sedangkan Iren, ia berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.

"Kenapa lo bisa bilang orang lain berubah, tapi lo sendiri nggak sadar sama sikap lo selama ini?" Rara memejamkan matanya. Cukup terkejut dengan nada bicara yang Iren keluarkan. Dari sana, Rara tahu Iren sudah terlalu membencinya.

"Ren, please!"

"Lo emang pengecut. Seharusnya gue tahu itu," tanpa menoleh, Iren menghampiri Tari. Entah apa yang mereka berdua bicarakan, Rara hanya diam; ketika menyadari Iren lagi-lagi meninggalkannya.

RARA♪

"Kok tumben masih pagi kamu udah ke sini? Udah nggak ada kelas lagi?"

"Udah siang kok, Mbak. Nanti sore aku balik lagi." Sambil menunduk, Rara tersenyum kecil.

"Kenapa?"

Rara menoleh, "Kenapa gimana, Mbak?"

Di sampingnya, Sarah tersenyum. "Baru hari ini kamu mampir ke cafe buat nungguin kuliah sore."

Rara mengalihkan pandangannya, dalam hati mengiyakan ucapan Sarah. Ini masih jam 11. Terhitung pagi, mengingat Rara yang selalu datang sore atau bahkan malam. Menjadi freelancer tidak buruk juga. Kehadiran bisa dibilang semaunya, meski tetap sebagai pekerja.

"Nggak papa. Lagi pengen aja." Aku Rara. Di sampingnya, Sarah mengangguk.

"Iren nggak ikut?" Rara mengangkat pandangan, menemukan Sarah yang menatapnya penasaran. Dengan gelengan, Rara berharap Sarah tidak akan bertanya apa pun lagi mengenai sahabatnya itu.

"Tumben. Biasanya nempelin kamu terus," Sarah melihat Rara hanya tersenyum. Gadis itu tengah menulis sesuatu. Entah apa yang ditulis, Sarah juga tidak mengerti. "Kamu balik jam berapa?"

"Aku balik jam 2," sambil melihat pergelangan tangan kirinya. "Winda udah masuk lagi ya, Mbak?" Sarah mengalihkan pandangannya ke depan, menemukan Winda yang sedang mengantar pesanan pengunjung.

Sarah mengangguk. "Baru kemarin sama hari ini. Semenjak alesan kenapa dia masuk rumah sakit, anak itu jadi harus ada yang ngawasin. Dia itu tertutup dan keras kepala, sama kayak kamu. Jeleknya, Winda selalu ngambil keputusan sendiri tanpa mau ribet mikir akibatnya apa,"

"Bahkan untuk dirinya sendiri." Rara menyambung. "Winda korban dari keegoisan orang tuanya."

"Kalau lihat Winda, Mbak suka kasihan. Tapi kamu tahu sendiri, anak itu paling benci dikasihanin. Di luar dari gimana Winda bersikap selama ini, Mbak yakin orang tuanya punya alesan yang kita nggak perlu tahu kenapa mereka memutuskan buat berakhir. Yang jelas, bisa jadi kebersamaan mereka ternyata cuma semakin nyakitin semuanya. Termasuk Winda."

"Tapi kenapa? Bukannya dengan mereka terus sama-sama, Winda nggak akan kayak gini?"

"Mbak juga nggak tahu dong, Ra." Sarah tertawa kecil. Iya juga, pikir Rara. "Mbak nggak membenarkan siapa pun. Tapi mungkin yang selama ini kita lihat baik-baik aja, nggak sebaik-baik yang kita lihat."

Rara menoleh cepat. Wajahnya bertanya, namun yang ditunjukkan hanya sebuah kernyitan pada dahinya.

"Kalau orang kebanyakan 'nggak papa' juga nggak sehat, Ra. Kayak bom waktu. Bisa meledak kalau dirasa keadaannya udah terlalu memuakkan." Setelah Sarah mengatakan itu, Rara tidak bertanya apa pun lagi. "Makanya lebih bagus kalau lagi ada masalah, bahas baik-baik. Temuin solusinya bareng-bareng. Jangan maksa buat kelihatan nggak papa, padahal semua lagi nggak baik-baik aja,"

Genggamannya pada bolpoin mengerat. Minatnya menulis sudah hilang sejak Sarah mengatakan semua yang Rara rasa sangat berkaitan dengannya sekarang. Tapi ini tentang Winda, bukan?

"Sikap dia udah cukup nunjukkin kalau dia bener-bener terluka sama keputusan orang tuanya. Bahkan bisa dibilang, Winda nggak tahu masalah besar apa yang mengharuskan mereka berakhir. Alesannya satu; mereka kelihatan baik-baik aja. Padahal di belakang itu seharusnya bisa mereka ngerti, kalau beberapa hal butuh dijelasin."

Benar, ini bukanlah tentangnya. Hanya saja, mengapa ucapan Sarah seperti mengarah ke Rara? Tapi sebenarnya, Sarah juga tidak bermaksud ke sana. Lagian, yang mereka berdua bahas sejak awal adalah Winda. Kenapa juga hati Rara jadi sesensitif ini.

"Mbak, ada yang salah ya sama aku?" Rara menggenggam punggung tangan Sarah.

"Mbak nggak pernah tahu apa aja yang udah kamu lewatin sejauh ini. Tapi Mbak tahu, kamu bukan manusia egois. Kamu mau nangis guling-guling sambil gigitin bantal depan Mbak juga nggak masalah. Dengan begitu, Mbak tahu kalau Mbak masih punya dan masih jadi tempat buat adik-adik Mbak."

"Mbak.." Rara menggeleng disusul genggamannya yang semakin mengerat.

Sarah tersenyum tulus. Tangannya menyentuh punggung tangan Rara yang berada di atas tangannya. "Mbak ngerti kamu butuh waktu. Kalau kamu percaya sama kita, nanti kamu pasti cerita."

"Aku percaya sama kalian. Aku percaya sama Mbak."

Sarah menggeleng pelan. "Nggak, sebelum kamu bisa berbagi. Kamu selalu jadi orang yang kelihatan nggak pernah masalahin apa pun. Tapi yang harus kamu inget, Mbak bukan Laras atau Winda."

Rara bisa menebak ini sejak lama. Selama ini Sarah hanya mengikuti ke mana arah mainnya saja. Ya, lagi-lagi Rara merasa hidupnya berada pada lingkaran yang memuakkan. Dipenuhi kemunafikan, hidup macam apa yang Rara jalani sebenarnya?

"Aku ngerasa jadi orang paling bodoh." Rara terkekeh. Dapat dilihat, wajahnya menggambarkan sebaliknya di sana. Matanya jujur, meski usahanya terlihat meyakinkan. "Aku.. ak—"

"Mbak nggak pernah tahu apa yang lagi kamu tutupin. Tapi Mbak yakin, itu cuma nyakitin kamu."

Sedetik kemudian, tubuh Sarah menegang. Rara menjatuhkan air matanya, saat Sarah menyadari bahunya terasa basah. Rara menangis, meski masih berusaha menyembunyikan isakannya. Sarah bisa merasakan gemetar pada tubuhnya karena Rara. Pada akhirnya Sarah selalu tahu, semua hal yang menyakitkan memang akan selalu terasa menyakitkan. Bohong, jika selama ini Sarah tidak tahu Rara hanya memanipulasi hatinya. Memanipulasi semua orang dengan sikapnya sebagai seorang Rara.

***

Up subuh2 gini ada yang baca nggak?
Selamat ber'new normal' wahai ridyku sayang..

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang