Chapter 21

4.4K 471 307
                                    

It's like a nightmare that you can't escape.

"Aku mencintaimu" ucapnya pelan tanpa melihat ekspresi Jimin. "Tapi haruskah sesakit ini?"

"To--tolong aku, to--long" lirihnya namun Jimin mengambil beberapa langkah mundur ketika tangan Yoongi terulur putus asa menggapai ujung bajunya memohon pertolongan.

Tangannya bergetar hebat saat hendak mengambil ponsel di sakunya untuk menghubungi dokter namun id caller Yoonji membuatnya terdiam sejenak.

'aku bersumpah akan membunuh diriku jika kau mengabaikanku' Yoonji membentaknya terakhir kali di telepon.

'Kau suamiku, Jimin! Kau dengar kan?'

'Kau tak harus sedekat itu dengan adikku! Yoongi itu adikku! Atau kau jadi mulai mencintainya, ha?! Kau ingin menjadi gay seperti dia?!' lalu Jimin menutup paksa telepon mereka.

Tatapannya beralih, dari layar ponsel dan Yoongi secara bergantian.

Jimin menutup matanya kali ini sebab rasanya juga begitu sesak, Yoongi selalu baik padanya dan ia seolah hanya terus melampiaskan semua amarahnya pada Yoongi karena permasalahannya dengan Yoonji.

Sungguh, ia tak tahan jika harus terus seperti ini.

Jimin akhirnya melepaskan ponselnya hingga jatuh ke lantai lalu mendekat pada Yoongi dan mengangkat tubuh lemah itu ke atas kasur.

Sekitar setengah jam, dokter keluarga Park tersebut selesai memeriksa keadaan Yoongi.

"Dia, baik-baik saja?" tanya Jimin pelan. Matanya tak beralih dari Yoongi sedikitpun.

Dokter itu menghela nafas, "Sesak nafas yang tiba-tiba terjadi pada wanita hamil adalah hal yang biasa terjadi, dalam kasus suami anda ... saya harus mempelajarinya lebih lanjut, apakah ini karena peningkatan hormon progesteron atau penyakit serius lain seperti kardiomiopati peripartum"

Ibu Jimin mendekat pada Yoongi dan mengelus rambut menantunya itu.

"Apakah itu penyakit yang serius?"

Dokter itu mengangguk.

"Penyakit itu bisa membahayakan Ibu dan calon anaknya. Setelah keadaannya membaik, Anda bisa membawa tuan Yoongi ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut namun saat ini, biarkan dulu ia beristirahat"

"Terimakasih banyak" kini Ayah Jimin yang ikut berbicara.

"Silahkan hubungi saya jika keadaannya kembali tidak stabil"

Kedua orang tua Jimin mengangguk.

"Kalau begitu saya permisi" ujar sang dokter ramah. "Tolong perhatikan suami anda, keadaan kandungannya tidak sekuat wanita biasanya, tekanan berat hanya akan membuat keadaanya semakin memburuk."

"Anda hampir saja kehilangan keduanya, Tuan" ujar sang dokter pelan. "Anda harus menjaganya jika tak ingin hal tersebut terjadi"

"Silahkan Dok, kami akan mengantar anda ke depan"

Pintu kamar Jimin tertutup rapat, meninggalkan kedua manusia itu dalam diamnya masing-masing. Jimin memandang lekat Yoongi seolah tanpa berkedip.

Ia merunduk dengan bulir keringat mengalir deras, melihat kedua tangannya yang masih bergetar hebat.

"Perasaan apa ini sebenarnya?" desisnya lagi.

Ia hampir saja kehilangan Yoongi beberapa saat lalu. Perasaan takut dan bersalah ini, entah apa penyebabnya...tapi ia tak merasa wajar.

Apa ia baru saja takut kehilangan Yoongi?

Seorang Park Jimin, merasa takut?

...

Rein Me InTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang