24. Maaf Untuk Segalanya

568 72 3
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.

"Miss gak usah maksain." halang Dito ketika ia menghentikan motornya di pinggir jalan tempat biasa ia menurunkanku.

Aku masih teguh dengan keputusanku, toh aku bukan pihak yang bersalah. Dengan keras kepala aku meminta Dito untuk melajukan kembali motornya. "Dito, maju aja."

"Miss." Dito merengek.

Padahal aku sudah menolak tawaran pak Bima semalam, sekarang malah Dito yang menghambat.

Dito masih ngeyel, enggan menyalakan kembali motornya. Makanya dengan geram aku turun dari motor besarnya, namun belum sempat kakiku menapak trotoar, tangan besar Dito menahanku untuk tetap duduk di kursi boncengan.

"Ya sudah ayo." ucapnya dengan nada kalah.

Dan benar saja, kehadiran kami saat memasuki gerbang saja sudah berhasil membuat kepala-kepala menoleh dengan tatapan heboh. Bisik-bisik samar mereka bahkan terdengar meski telingaku terhalang helm yang keras.

Mungkin mereka menggunjing perihal aku dan perubahanku yang baru karena sekarang menunjukan gelagat menyukai pria. Namun pria yang membuatku nyaman malah lebih muda daripada aku dan itu akan menjadi sejarah terheboh sepanjang karir Grandmedia Publishing. Ah, jangan lupa dengan gosip pelakor yang dibuat Cecillia Judith.

"Tuh 'kan, kalo terlalu berat gak usah maksain."

Seruan Dito menggugah lamunanku, aku tersentak dan tersadar kini sudah berada di parkiran basement dengan Dito yang membalikkan setengah tubuhnya. Buru-buru aku menguasai diri dan melepas helm dengan gerakan cepat. Lalu aku berjalan lebih dulu tanpa menghiraukan Dito.

Aku berdiri di depan pintu lift dengan beberapa karyawan yang nampak bisik-bisik di sekitarku, itu terlihat jelas di pantulan pintu lift. Dalam hati aku hanya bisa mengelus dada dan semoga badai ini akan segera berlalu dan mengembalikan pola hidupku yang sejahtera.

Kehebohan semakin menjadi-jadi ketika sebuah tangan gaib meraup tanganku yang dingin dan agak bergetar. Harusnya yang heboh itu aku, bukan mereka yang menyaksikan. Buru-buru aku melayangkan tatapan penuh tanya pada sang pelaku, namun bocah bongsor itu malah menatap lurus ke depan berlagak seperti bodyguard yang menjaga tuannya.

"Dito, lepaskan." sentakku, namun ia tak bergeming. "Dito!" bisikku penuh intimidasi tapi ia masih menggenggam tanganku, bahkan makin erat.

"Sudah kepalang basah, lebih baik nyebur saja."

Pepatah aneh.

Dan ketika pintu lift terbuka, aku sempat-sempatnya melihat penampakan pak Bima yang tengah menggendong Kayla. Hatiku mencelos melihatnya dan kepalaku bergerak otomatis untuk menoleh pada kedatangannya.

"Tante mama!"

Astaga, tulang-tulangku luruh seketika.

Kayla terlihat ingin loncat dari pelukan ayahnya, namun tangan besar pak Bima menahan kuat tubuh mungil itu dengan tatapan nanar pada jemariku dan Dito yang saling bertautan. Raut kesedihannya membuat hatiku tergores, lukanya kecil namun sakitnya membuat linu.

Dito seperti menjelma menjadi batu yang dingin dan kaku, malahan kurasakan genggaman tangannya makin mengetat --hampir saja aku mengaduh kesakitan. Pak Bima sudah kembali memasang wajah ramah dengan senyuman teduh khasnya. Ia berjalan menghampiri kami dan berdiri bersisian denganku menunggu pintu lift kembali terbuka.

"Hai Kayla." sapaku dengan senyuman kaku yang dipaksakan, --aku bahkan tidak bisa membohongi diri sendiri kalau senyuman itu bak ringisan yang pasti terlihat mengerikan.

It's Start From Fortune Cookies [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang