18. Arah Hati Yang Dituju

584 90 5
                                    

--Follow penulisnya, votement ceritanya

.

Akhirnya, setelah cukup lama aku mencari satu kata yang pas untuk menggambarkan Dito, kutemukan juga yang kurasa cocok akan sikapnya.

Labil

Memang benar, hingga aku kepayahan menghadapinya. Kemarin membuat jantung berdegup hebat, hari ini membuat tekanan darah meningkat. Hebat sekali ya seorang Dito. Kehadirannya mengguncang hidupku yang tenang, damai, aman, nyaman, sejahtera.

Seperti saat ini, Dito terus saja menekuk wajahnya semenjak aku terciduk mengagumi senyuman perpisahan dari pak Bima tadi. Malah dengan ketusnya ia menyuruhku untuk jadian dengan pak Bima. Apa-apaan coba? Semalam saja aku merasakan simpati yang benar-benar tulus atas kejadian yang menimpa hidupnya. Sekarang aku menyesali pernah prihatin pada dia. Dito menjelma menjadi makhluk super menyebalkan dikala sensi begini.

Ingin aku meneriakkan di telinganya: mana macchiato-ku!

Lewat jendela ruanganku, kulihat Dito tampak begitu serius dengan layar komputernya. Wajahnya dingin dan auranya membuatku merinding melihatnya. Apa aku harus membawanya ke arena permainan bocah supaya ia bisa mengenyahkan wajah butek-nya itu? Ternyata bukan wanita saja yang rumit, nyatanya pria dua kali lipat lebih sulit.

Kemudian ponselku berdering nyaring, aku terperanjat dan mulutku melengkung dengan sempurna melihat nama pemanggil yang tertera. "Halo."

"Miss, doain saya ya. Ini mau brojolan. Aduh... udah bukaan berapa sih dok?"

Aku terkekeh geli mendengar suara riangnya. Rasanya seperti sudah bertahun-tahun lamanya tak mendengar celetukan aneh mantan asisten-ku itu.

"Kamu sempat-sempatnya nelpon saya kalau mau lahiran begitu."

"Ih, ini permintaan oroknya Miss. Ogah saya punya anak ileran. Mas... ih tanyain bu dok udah bukaan berapa, sakit nih."

Dasar konyol, aku mengira-ngira Resti tengah tidur terlentang dengan gelisah di atas ranjang pasien dengan ponsel menempel di telinga serta mulutnya yang ceriwis tak bisa berhenti merecoki orang-orang di sekitarnya.

"Ya sudah, semoga proses lahirannya lancar. Ibu dan bayi-nya sehat."

"Amin Miss. Terus kapan ngasih box bayi-nya?"

Astaga Resti, begitu terus terang tanpa basa-basi. Seseorang mengetuk pintu, kulihat Dito membawa naskah baru yang siap diberi pada bagian penyusun. Ia hendak membuka suaranya namun aku mengangkat tangan menghentikannya.

"Ya, semoga saya bisa ambil cuti untuk ngunjungin kamu di Magelang. Kalau tidak bisa, saya transfer saja buat beli box yang kamu mau."

Dito sedari tadi masih setia menungguku dengan tatapan mengawasi. Aku berusaha untuk memasang tampang sedatar mungkin tanpa terpengaruh sikap labil Dito dan melemparkan pandangan ke arah lain, selain kacamata baca yang ia kenakan.

"Dateng langsung lebih baik, a-ah mas! Ada yang keluar. Miss udahan dulu ya saya mau ngeden nih. Bye--"

"Res--- duh."

Aku menatap ponselku dengan perasaan geli dan agak cemas juga.

"Kenapa?"

"Oh, asisten saya dulu mau melahirkan."

Dito mengangguk singkat, "Mbak Resti, ya."

Mendadak aku teringat sesuatu akan hal itu. Kuhentikan Dito sebelum ia berbalik keluar dari ruanganku. "Seberapa banyak?"

It's Start From Fortune Cookies [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang