4

21 4 0
                                    


Adalah Rakee yang sedang tidur di bawah pohon itu. Ia memang sudah tidak memiliki rumah. Jangankan rumah, keluarga pun ia tak punya. Sanak saudaranya di kampung ini sudah tidak ada. Lebih tepatnya ia adalah salah satu pemuda yang hidup sebatang kara di kampung ini.

Di tempatnya tidur itu, tidak ada seorang pun yang berani mengganggu tidur nyennyaknya. Bukan karena dia orang yang sangar dan bertubuh kekar sehingga di takuti oleh seluruh kapung. Namun siapa pun yang berani mengusik tidurnya maka Rakee akan langsung mengomelinya tanpa henti. Bahkan ketika orang yang diomeli itu beranjak pergi, kaki Rakee pun ikut melangkah kemana orang yang telah membangunkan tidur nyenyaknya itu berjalan. Pernah sampai ia mengikuti orang hingga ke sawah sambil tetap mengatakan hal-hal yang tidak penting. Ada pula yang pernah diikuti langkahnya hingga ke pasar. Bahkan ada yang pernah diikuti Rakee hingga ke rumahnya. Orang yang menjadi korban omelan itu sangat kesal dan pulang menutup rumahnya rapat-rapat. Namun tak berhenti disitu, Rakee masih sempatnya menggedor-gedor pintu rumah.

Mungkin karena sedikit keterbelakangan mental, atau mengalami depresi berat karena tidak pernah merasakan memiliki keluarga, ia menjadi seperti itu. Hal tersebut membuat banyak orang yang tak mau berinteraksi dengan pemuda jalang bertubuh tinggi dan kurus itu. Karena setiap hendak mengatakan sesuatu kepada orang itu, pasti jawabannya akan belepotan dan tak ada ujungnya. Rakee seperti tak peduli kepada siapa ia bicara, baik tua maupun muda Rakee memperlakukan lawan bicaranya dengan sangat berlebihan.

Meskipun begitu sebenarnya tak sedikit orang yang iba kepadanya. Mereka—orang-orang yang iba itu—melihat sebuah kewajaran terhadap Rakee, karena tampaknya ia butuh perhatian. Ia tak punya keluarga. Sehingga dengan cara itulah Rakee mencari perhatian. Mereka yang berbelaskasihan biasanya memberi ia makan dan rela menjadi lawan bicaranya meskipun tidak jarang lebih memilih untuk menghindar.

Dan tiba-tiba suara kerbau yang lewat itu tampaknya harus menanggung perbuatannya. Karena suara yang dihasilkannya itu membuat pemuda di bawah pohon itu terbangun.

"Hey! Suara jelek apa itu! Tidak bisakah suara itu diam dan tidak mengganggu ketenangan ku! Ini masih sangat pagi! Tidak seharusnya kalian lewat sini!....."

Dua orang yang berada di atas kereta kerbau itu saling memandang. Salah satu dari mereka bertanya: apakah harus kita meladeni orang itu. Jawab yang satunya: jangan. Namun tak lama kemudian orang yang mengatakan jangan itu tiba-tiba merasa sakit di kepalanya. Sebuah batu berukuran segempal tangan ternyata telah dilemparkan kepadanya. Orang berbadan besar itu tentu tau siapa pelakunya. Ia turun dari kereta kerbaunya dan langsung memberi ayunan tangan memukul orang cerewet itu tanpa sepatah kata pun. Kemudian orang itu kembali ke keretanya.

"Sakit sekali, batu itu terhempas keras ke kepalaku. Setidaknya aku memukulnya adalah balasan yang setimpal meski orang itu pingsan sekarang."

"Hahaha.. itu bukannya itu lebih baik? Lagi pula, kau sendiri tadi yang mengatakan jangan meladeninya."

"Ya memang aku meladeninya. Namun tidak untuk bertele-tele. Aku hempas saja kesadarannya agar dia pingsan dan tidak mengikuti kita."

"Hahaha.."





just click star bottom if you like this part

i'll appreciate your vote also comment

:]

Gate Of Akasa: The Hidden WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang