6. Sebuah Alasan

21 8 0
                                    

Cahaya matahari perlahan menyusupi celah-celah jendela kamar Reyna. Gadis itu perlahan membuka matanya dan mengambil jam weker miliknya yang terletak di meja samping kasurnya.

Ia memperhatikan jarum jam dan angka yang tertera di sana. Matanya membelalak tak percaya.

Tak pikir panjang, ia langsung turun dari kasur dengan langkah tergesa-gesa. Dia langsung menghampiri Tante yang sedang sibuk di dapur.

"Tante kenapa nggak bangunin Reyna? Reyna udah telat, Tante." Rengek Reyna sambil menghentakkan kakinya.

Tante terkekeh mendengar rengekan Reyna. Lalu Tante membalikkan tubuhnya menghadap gadis yang sudah ia anggap sebagai anaknya.

"Hari ini hari Sabtu, Rey. Tandanya sekolah kamu libur." Ujar Tante sembari mengacak lembut rambut halus milik Reyna.

Gadis itu terdiam. Ia mencoba mengingat-ingat hari.

Setelah ingat bahwa ini hari Sabtu, Reyna tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi.

"Papa dimana Tante?" Tanya Reyna. Matanya masih mencoba menyapu seluruh ruangan di rumahnya. Tapi nihil, ia tidak menemukan Papa.

"Ke kantor. Katanya ada kerjaan mendadak."

Mendengar jawaban Tante, raut wajah Reyna langsung berubah drastis.

"Jangan sedih, kan ada Tante sama Kak Rendra" ucap Tante.

Reyna hanya mengangguk kecil lalu berjalan menuju kamar mandi. Apa lagi yang dilakukannya kalau bukan mandi?

***

Kini, Tante, Reyna dan Rendra sedang berada di ruang keluarga. Ketiganya sedang menonton tv sambil mengobrol santai.

"Oh iya, Reyna baru ingat!" Seru Reyna lalu berlari kecil menaiki tangga menuju kamarnya.

Rendra dan Tante saling bertatapan, seakan sedang berbicara melalui tatapan itu. Lalu keduanya mengangkat bahu pertanda mereka tak mengerti apa yang ingin dilakukan Reyna.

Reyna kembali dan membawa sekantung plastik besar di tangannya. Rendra ingat betul bahwa kantung itu adalah kantung yang kemarin dibawa Reyna sepulang sekolah.

Sejujurnya Rendra masih penasaran apa isinya, tapi ia mencoba tak peduli. Namun sekarang, Reyna membawa kembali kotak itu yang membuat rasa penasaran Rendra kembali muncul.

"Kemarin, Papa beliin ini buat Reyna." Ujar Reyna bersemangat.

Dia mulai mengeluarkan benda-benda yang berada di dalam kantung plastik itu.

Ternyata, isinya adalah baju, sepatu dan boneka.

Tante memandangi Reyna yang masih sibuk mengeluarkan benda-benda itu.

"Buat Kakak mana?" Tanya Rendra.

"Kemarin Reyna mau beliin buat Kakak, tapi kata Papa nggak usah. Katanya cuma habisin uang aja." Jawab Reyna dengan polos.

Rendra terkejut mendengar pengakuan Reyna. Tante juga tak kalah terkejut.

"Ren..." Panggil Tante dengan lembut.

"Nggak apa-apa kok, Tante."

Rendra berjalan menuju kamarnya dengan langkah lemas. Ia tak ingin berlama-lama di ruang keluarga dan mendengar pernyataan yang lumayan menyakitkan tentang Papa.

Tante berpindah tempat duduk menjadi di samping Reyna.

"Papa pernah cerita tentang Rendra nggak ke kamu?" Tanya Tante.

"Nggak pernah. Justru kalau Reyna mau bahas tentang Kakak, pasti Papa langsung ngalihin pembicaraan." Imbuh Reyna.

Tante mengernyitkan dahinya. Sekarang, ia tahu siapa yang harus dia percaya.

Sementara di lain ruangan, tepatnya di balkon kamar Rendra, seorang remaja lelaki sedang memandangi langit. Ya, orang tersebut adalah Rendra. Di tangannya terdapat foto keluarganya 6 tahun silam.

"Andai Mama masih di sini, semua ini nggak akan terjadi, Ma." Gumam Rendra.

***

Jam telah berlalu, dan kini jam sudah menunjukkan pukul 3 sore.

Papa sudah pulang dari kantor sedari pukul 2 siang tadi. Rendra dan Reyna sedang bermain di depan rumah, dan Tante baru saja selesai menyapu rumah.

"Kak, ada yang mau aku bicarain." Ujar Tante.

"Apa?"

"Sebentar"

"Ren, Rey. Kalian mau main di taman nggak?" Tanya Tante.

"Mau Tante" jawab mereka serempak.

"Ya udah, kalian main aja di taman. Tapi, sebelum matahari tenggelam kalian udah harus pulang, ya." Ucap Tante yang dibalas anggukan oleh keponakannya.

Sekarang, hanya ada Papa dan Tante. Suasana kian tegang. Tante menyuruh Papa untuk duduk.

"Apa alasan kamu pilih kasih sama anak-anak kamu?" Tante memulai pembicaraan.

"Apa maksudnya?"

"Kamu cuma sayang sama Reyna kan? Kamu masih nggak peduli sama Rendra kan?"

Skak. Papa bungkam. Ia tak menyangka bahwa adiknya akan mengetahui hal ini.

"Iya." Jawab Papa yang berusaha santai.

"Kenapa? Apa alasannya?"

"Dia adalah orang yang membuat Amira meninggal."

Tante membulatkan matanya. Ia tak habis pikir bahwa itu adalah alasannya.

"Waktu itu Rendra tendang bola hingga ke tengah jalan, lalu Amira mengambil bola itu, setelah itu Amira tertabrak mobil dan tewas." Tambah Papa.

"Itu kan takdir. Kalaupun Rendra nggak menendang bola sampai ke tengah jalan, tapi takdir Kak Amira meninggal hari itu, pasti Kak Amira meninggal hari itu juga."

"Tapi Rendra yang menendang bola itu. Artinya, Rendra adalah orang yang telah membunuh Amira." Sangkal Papa.

"Tapi Kak—" ucapan Tante terpotong karena ada seseorang yang masuk ke dalam rumah.

"Assalamualaikum" salam orang tersebut seraya menatap Papa dan Tante bergantian dengan tatapan getir.











Duh siapa yaa orangnya?
Hehe gantung dulu ya..
Oh iya jangan lupa vote nya ya.. jangan cuma dibaca aja.
Maaf ya lama up nya.. selamat bertemu di part selanjutnya..

Are We Siblings? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang