Keesokan harinya, Reyna masih saja menjauh dari Rendra. Dia juga menjadi pribadi yang pendiam dan tertutup. Hal itu membuat Rendra dan Tante bingung.
Seperti biasa, Reyna diantar ke sekolah oleh Papa.
Di sekolah, Reyna juga masih diam. Dari awal jam pelajaran, bahkan sampai jam istirahat pun dia masih diam. Pikirannya kalut.
Kini, ia sedang berada di kantin dengan Tasha dan Salma. Sedari tadi, kedua sahabatnya itu terus mengoceh dan membicarakan banyak hal. Tapi tidak dengan Reyna, dia masih saja sibuk dengan pikirannya. Dia tidak ada niatan sedikit pun untuk ikut serta dalam perbincangan itu. Padahal, biasanya ialah orang yang paling banyak berbicara.
Melihat keanehan itu, Tasha dan Salma saling menatap satu sama lain. Mereka seakan sedang berbicara melalui tatapan itu.
"Rey? Lo kenapa? Kok diem aja?" Tanya Salma untuk menjawab segala rasa penasarannya.
Reyna hanya menggeleng lemah.
Tasha mengerutkan dahinya, ikut berbicara juga. "Lo sakit? Ada masalah?"
"Gue nggak sakit. Tapi ada masalah."
"Masalah apa?"
"Masalah keluarga."
"Keluarga siapa?" Tanya Salma dengan asal. Bisa-bisanya gadis itu menanyakan hal yang tentunya tidak perlu ia tanyakan lagi.
"Keluarga gue lah. Masa keluarga lo."
"Apa masalahnya? Lo bisa cerita kok sama kita."
Reyna menghela nafasnya. Sepertinya ia memang harus menceritakan masalahnya kepada mereka berdua. Siapa tahu mereka berdua bisa membantunya mencari solusi.
"Kemarin Papa bilang kalo..." Reyna menggantungkan ucapannya. Mengumpulkan segala nyali untuk menceritakan ini semua. "Kalo Kak Rendra itu orang yang udah bunuh Mama."
"Apa?!" Teriak Tasha dan Salma histeris. Suara mereka itu mampu membuat seantero kantin menatap mereka. Reyna refleks membekap mulut kedua sahabatnya. Untung saja mereka berdua adalah sahabat Reyna. Jika tidak, Reyna sudah enyah dari hadapan mereka untuk mengurangi rasa malunya.
"Lo berdua bisa nggak sih, nggak usah teriak? Gue malu." Bisik Reyna.
Tasha dan Salma hanya menyengir tidak berdosa. Sejujurnya mereka juga merasa sangat malu.
"Lo tau darimana kalau Kak Rendra yang bunuh Mama lo?" Tanya Salma. Kali ini volume suaranya sedikit dikecilkan.
"Kan tadi gue udah cerita kalau Papa yang bilang gitu kemarin." Jawab Reyna dengan raut wajah kesalnya.
"Gue nggak percaya!" Tegas Tasha. "Kalau emang iya, apa alasannya coba? Apalagi waktu itu Kak Rendra masih kecil. Mana mungkin anak umur tujuh tahun udah punya pikiran untuk membunuh orang tuanya." Tambahnya.
Reyna menggeleng lagi. Benar juga kata Tasha, bahkan Reyna sendiri tidak tahu apa alasannya. Reyna juga tidak tahu perkataan itu benar atau tidak.
"Nah kan, lo nggak boleh langsung berpendapat kalau Kak Rendra adalah pembunuhnya."
***
Reyna sudah sampai rumah sekarang. Di rumah tidak ada Kak Rendra, katanya dia sedang mengerjakan tugas kelompok di rumah temannya. Sedangkan Tante, dia sudah pulang ke rumah.
Sepertinya ini waktu yang pas untuk menanyakan hal itu pada Papa.
"Pa" panggil Reyna.
Papa menolehkan kepalanya dan menghadap putrinya. "Kenapa?"
"Menurut Papa, kenapa Kak Rendra bunuh Mama?" Tanya Reyna dengan hati-hati.
Papa nampak berpikir sebentar, mencari jawaban yang pas agar Reyna percaya.
"Hm.. sebenarnya... Rendra itu...bukan kakak kandung kamu." Jawab Papa dengan gugup. "Mungkin karena itu lah, Rendra punya niatan untuk membunuh Mama kamu."
Reyna sangat amat terkejut. Selama ini dia mengira bahwa Rendra adalah Kakak kandungnya.
"Papa...papa nggak lagi bohongin Reyna kan?"
"Nggak, Rey."
"Jadi, aku atau Kak Rendra yang bukan anak kandung Papa sama Mama?"
"Rendra. Dia bukan anak kandung Papa sama Mama. Dan kamu adalah anak kandung kami."
"Kenapa selama ini nggak ada yang pernah cerita ke Reyna?"
"Papa menunggu waktu yang pas, Rey. Biar kamu nggak terlalu kaget."
Mata Reyna memanas. Tetes demi tetes air mata perlahan turun mengenai pipinya. Reyna berlari ke kamar, mencoba menenangkan dirinya.
***
Saat malam hari, Tante semakin dibuat penasaran dengan peringai Reyna yang makin manjauh dari Rendra.
Tante memberanikan diri untuk masuk ke kamar Reyna untuk menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Rey, kenapa?"
Sontak Reyna memeluk Tante dengan erat. Tante semakin bingung, apa yang terjadi dengan Reyna?
"Rey, kamu kenapa?" Tante mengulangi pertanyaannya.
"Kenapa Tante bohong sama Rey? Kenapa Tante nggak bilang itu dari awal?" Bukannya menjawab, Reyna malah balik bertanya.
"Bohong apa? Tante nggak menyembunyikan sesuatu dari Rey, kok."
"Tentang Kak Rendra"
Kebingungan Tante semakin menjadi. Ia tak merasa ada hal yang disembunyikan darinya, justru Tante merasa Reyna lah yang menyembunyikan sesuatu darinya.
Reyna menyeka air matanya, menatap Tante dengan sendu.
"Tante, Rey butuh waktu sendiri dulu."
Tante Zakia yang paham akan maksud keponakannya langsung berdiri dan keluar dari kamar Reyna. Dia menutup pintu kamar Reyna dengan pelan, pikirannya masih penuh dengan tanda tanya tentang apa yang terjadi dengan Reyna.
Tante masih setia berdiri di depan kamar Reyna, tatapannya kosong. Ia masih berusaha berpikir.
"Kamu kenapa, Za?" Seseorang telah membuyarkan lamunan Tante. Ternyata, orang tersebut adalah Papa.
"Reyna. Reyna tiba-tiba jadi pendiam dan menjauh dari Rendra. Dia juga tadi nangis dan bilang kalau aku udah menyembunyikan sesuatu dari dia. Aku nggak paham apa maksud Reyna. Kakak tahu apa yang terjadi sama Reyna sampai-sampai dia berubah gini?"
"Mungkin dia lagi capek. Udah lah, nggak usah dipikirin, nanti juga kalau moodnya udah membaik, dia akan jadi Reyna yang ceria lagi, kok." Tentu saja Papa berbohong. Jelas-jelas dia lah orang yang sudah merubah Reyna menjadi sosok yang pendiam dan tertutup. Papa tidak mau menceritakan semuanya kepada Tante Za, sudah pasti kalau dia ceritakan itu, Tante akan marah besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Are We Siblings?
General Fiction"Apa kita benar benar saudara kandung?" Sebuah pertanyaan yang selalu menghantui Rendra dan Reyna, kakak beradik yang mendapat kasih sayang yang berbeda dari Papanya. Bagaimana bisa? Keadaan semakin parah ketika Reyna secara tiba-tiba membenci Ren...