9. Selamat Tinggal, Papa!

14 3 0
                                    

Selama beberapa hari ini, sifat Reyna benar-benar berubah. Makin hari ia semakin menjauh dari Rendra. Dia menjadi pribadi yang pemarah, tertutup dan pendiam. Terkadang, Tante sering memergokinya sedang menangis sesenggukan di dalam kamar.

Tante sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada Reyna. Reyna yang ia lihat sekarang bukanlah Reyna yang dulu.

Hari sudah menunjukkan pukul 3 sore, harusnya sekarang Rendra dan Reyna sudah pulang dari sekolah.

Sekarang, Tante dan Papa sedang ada di rumah. Tante sedang memasak, dan Papa sedang membaca koran di ruang tamu.

Tok..tok..tok..

Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Ternyata, itu adalah Rendra.

Seperti biasa, Papa memandang Rendra dengan tatapan tak suka. Rendra yang mendapat tatapan seperti itu bertanya-tanya, apa yang sudah ia lakukan sampai-sampai Papa terlihat begitu membencinya? Terlebih lagi sekarang Reyna menjauh darinya. Tapi, Rendra tetap berusaha tenang dan santai.

"Reyna dimana, Pa?"

"Memangnya kenapa?"

Rendra menautkan kedua alisnya. Bukan jawaban itu yang ia butuhkan, ia hanya ingin tahu keberadaan adiknya, apa salah?

"Biasanya kan udah pulang jam segini, tadi juga aku nggak lihat dia waktu pulang sekolah."

"Dia ada tugas kelompok di rumah temannya." jawab Papa dengan datar.

Benar memang, sore ini Reyna sedang mengerjakan tugas kelompok di rumah temannya.

Rendra penasaran sebenarnya apa yang terjadi? Kali ini, Rendra harus bertanya apa yang terjadi di keluarganya.

"Papa kenapa sinis sama Rendra? Rendra salah apa, Pa?" tanya Rendra menuntun penjelasan.

Papa menurunkan korannya, menatap Rendra dengan nyalang.

"Kamu mau tahu apa yang sudah kamu lakukan? Kamu, adalah orang yang sudah membuat istri saya meninggal."

Papa berbicara seakan-akan ia sedang berbicara dengan orang asing. Mereka tidak menyadari bahwa sedari tadi ada seseorang yang mengintip pembicaraan mereka.

"Apa maksud Papa? Aku nggak pernah berniat membunuh Mama, apa yang terjadi, semuanya itu takdir, Pa." Rendra benar-benar tidak paham.

Papa bangkit dari duduknya.

"Nggak berniat kamu bilang? Coba kalau waktu itu kamu tidak menendang bola ke tengah jalan, sudah pasti istri saya masih hidup dan ada di sini. Saya seperti ini, karena kamu!" Nada bicara Papa meninggi. Nampaknya ia ingin mengeluarkan segala isi hatinya di sini sekarang juga, di depan anak sulungnya.

"Pa, dengerin aku dulu, waktu itu aku nggak sengaja, Pa." Rendra tetap tenang, dia berusaha agar tidak tersulut emosi juga.

"Tidak ada yang perlu saya dengarkan lagi dari mulut kamu. Apa kamu bilang? Tidak sengaja? Kamu tahu kan bahwa ketidaksengajaanmu itu sudah membunuh orang yang saya sayang?! Kamu it–"

Papa menghentikan ucapannya. Dadanya terasa sangat sakit. Dia terus memegangi Dadanya untuk menahan rasa sakitnya. Badannya ambruk ke kursi, Rendra yang melihat itu langsung menghampiri Papanya.

"Pa? Papa kenapa? Tante, tolong Tante, Papa pingsan!"

Tante yang mendengar teriakan Rendra langsung menuju ruang tamu. Alangkah terkejutnya ia saat mengetahui keadaan Kakaknya.

"Sebentar ya, Ren. Tante panggil taksi dulu."

Tak menunggu waktu lama, taksi lewat depan rumah mereka dan Tante langsung memberhentikannya. Mereka membopong Papa menuju ke dalam taksi. Taksi melaju dengan kecepatan di atas rata-rata.

Sesampainya di rumah sakit, Papa langsung dibawa ke UGD. Dokter pun datang dan dengan sergap langsung memeriksa keadaan Papa.

Sedangkan di luar ruangan UGD, Tante dan Rendra berdoa tak henti-henti. Tante meneteskan air matanya, Rendra menggigit bibir bawahnya untuk menahan agar air matanya tak jatuh.

"Tante, Papa kenapa?"

"Papa kamu, punya riwayat penyakit jantung, penyakitnya bisa kambuh jika ia melakukan aktivitas berlebihan, apalagi tadi Tante dengar Papa membentak, itu bisa menjadi salah satu penyebab serangan jantung secara tiba-tiba." Tante menjawab sembari menahan air matanya.

Sedetik kemudian, Tante menyadari bahwa Reyna belum ada di sini. Tante berpamitan pada Rendra untuk menjemput Reyna dari rumah temannya.

Tak lama setelah Tante pergi, Dokter keluar dari UGD. Rendra bangkit dari duduknya dan menanyakan keadaan Papanya.

"Papa kamu sudah sadar, keadaannya juga berangsur stabil. Kami akan memindahkan dia ke ruang rawat. Dia mencari seseorang yang bernama Rendra, apakah kamu Rendra?"

"Iya, dok. Saya Rendra."

"Papamu ingin berbicara dengan kamu. Nanti, kamu boleh membesuknya saat kami sudah menempatkan dia ke ruang rawat."

"Baik, dok."

Setelah Papa dibawa ke ruang rawat, Rendra menghampiri Papa. Seperti kata dokter, Papa ingin berbicara dengan Rendra.

"Pa," panggil Rendra dengan hati-hati. Rendra duduk di kursi dekat brankar.

"Ren, ada yang ingin Papa bicarakan dengan kamu." ucap Papa dengan lemas.

"Papa..minta maaf sudah menuduh kamu. Papa tahu, apa yang sudah Papa lakukan itu salah. Papa minta maaf ya, nak. Papa juga minta tolong, perbaiki hubungan kamu dengan Reyna. Papa mau pergi dengan tenang tanpa ada pertengkaran dari kalian. Kalian harus janji untuk saling menjaga dan menyayangi satu sama lain. Papa sayang sama kalian." pesan Papa.

Tak lama, pintu ruangan terbuka dan menampilkan Reyna dan Tante di sana.

"Papa..Papa nggak apa-apa kan?"

"Papa nggak apa-apa, Rey. Papa sayang sama kamu dan Rendra. Kalian ikhlas kan melepas Papa?"

Dahi mereka berkerut. Apa yang dimaksud Papa?

"Papa nggak boleh ngomong gitu, Papa harus semangat." ujar Rendra.

"Tapi, Papa udah nggak kuat. Ingat pesan Papa, ya, Ren. Za, aku titip anak-anakku ke kamu, ya. Jaga dia sebaik mungkin, Kakak percayakan mereka kepada kamu."

"Iya, Kak. Aku pasti akan menjaga mereka selamanya. Aku janji. Tapi kamu juga harus kuat, ya." ucap Tante dengan menangis tersedu-sedu.

"Papa pamit, ya. Jaga diri kalian baik-baik, Papa harap, kalian lepas Papa dengan ikhlas. Maafkan segala kesalahan Papa, Papa pergi, ya. Papa sayang sama kalian. Selamat tinggal." Setelah mengucapkan itu, Papa memejamkan matanya dengan tenang bersamaan dengan suara bedside monitor detak jantung yang berbunyi nyaring.

Tinn....

Seketika mereka semua menangis tersedu-sedu. Papa sudah tiada. Dia sudah pergi dengan tenang.

"Selamat tinggal, Papa. Aku akan melaksanakan pesan terakhir Papa." ujar Rendra.

Reyna menatap Rendra dengan sinis.

"Apa yang udah Kakak lakuin ke Papa? Kenapa Kakak bunuh Papa juga? Kakak belum puas udah membunuh Mama lalu sekarang Kakak membunuh Papa? Kakak itu penjahat!" histeris Reyna. Tante yang mendengar itu sangat terkejut.

"Rey kamu kenapa? Kenapa kamu marah sama Kakak kamu, Rey?" tanya Tante.

"Dia bukan Kakak aku."

Empat kata yang membuat Tante dan Rendra terkejut. Rendra masih diam di tempatnya. Sekarang, dia tahu apa alasan perubahan sifat Reyna beberapa hari terakhir ini. Inilah saatnya, Rendra memperbaiki semuanya.

"Rendra akan melaksanakan pesan Papa. Rendra janji, Pa." ucap Rendra. Tangannya mengelus lembut tangan Papanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 31, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Are We Siblings? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang