Bukan dunia yang mengecewakan, tapi ekspetasimu.
Sesil—mama Angga mengernyitkan dahinya, "Mau ke mana?" tanyanya santai."Ya-ya main, bentar doang suer," janjinya dengan menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk tanda peace.
Sesil menghela nafasnya, "Nggak ada main-main, sekarang musim ulangan kan? Nanti kalo nilainya turun gimana? Kamu kan sekarang sibuk OSIS. Mending selesaiin tugas OSIS terus lanjut belajar buat ulangan besok," ucapnya diakhiri dengan senyuman.
"Kenapa sih, Angga selalu nggak dibolehin main? Angga juga mau kayak anak-anak lain Ma. Pengin kaya remaja-remaja lain yang yang menikmati masa-masa sekolahnya. Nggak selalu waktunya dihabisin cuma buat belajar."
"Oh jadi kamu merasa terbebani atas semua yang kamu lakukan? Papa cuma mau kamu sukses di masa depan. Jangan taunya cuma main-main aja." Ferdi dengan tegasnya menasihati.
"Aku bukan robot Pa. Aku cuma mau main, udah itu aja." Angga merasa jengah dengan tuntutan kedua orang tuanya, kali ini Angga berusaha untuk membantah.
Ferdi menggelengkan kepalanya tanda menolak, "Cepat masuk kamar dan selesaikan tugasnya." Ferdi tetaplah Ferdi yang tidak membiarkan anak semata wayangnya menghabiskan waktunya hanya untuk main-main saja.
Angga mengehela nafas kasar dan meninggalkan kedua orang tuanya menuju kamar. Angga merasa dirinya selalu dikekang, dituntut untuk menjadi pribadi yang baik. Angga tau tuntutan orang tuanya baik untuknya, namun, jika hanya sekadar main dengan teman memangnya salah? Dirinya sudah besar, tau mana yang baik dan mana yang buruk. Dirinya juga tau mana batasannya.
Angga berpikir, orang tuanya terlalu berlebihan dalam menuntut. Belajar memang penting, tetapi ada kalanya merasa jenuh. Angga butuh hiburan dengan menghabiskan waktunya dengan temannya.
Setelah tiba di kamarnya, Angga merebahkan dirinya di ranjang sembari menendang-nendang udara. Bangun lagi dan berdecak begitu pun seterusnya. Angga ingin berteriak sekeras-kerasnya untuk meluapkan emosinya yang sudah memuncak. Tetapi dia tau batasan, dirinya tak tinggal sendiri di sini, ada tetangganya. Barangkali setelah mendengar teriaknnya dirinya didemo depan rumah kan berabe.
Angga berdecak sekali lagi dan mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Menghubungi temannya bahwa dirinya tak bisa pergi bermain kali ini. Setelah menekan panggilan untuk menelepon Ganen, Angga meletakkan ponselnya di telinga. "Nen, gue nggak ikut main dulu, bye!" sambungan telepon diputus sepihak oleh Angga. Angga tau di seberang sana Ganen sedang mengumpatinya keras-keras.
--------
Selepas dengan ritual mandi sorenya, Aina bersantai di ruang keluarga tengah menonton serial kesukaannya. Tak lama, sang Mama menghampiri putrinya yang tengah berbaring di sofa.Aina mengalihkan pandangannya dari televisi ke sang mama. Yumi mendudukkan dirinya di tepi sofa. Aina pun dengan sigap membangunkan dirinya dan duduk di samping Mamanya. Yumi menoleh ke samping dan berkata, "Besok sore keluarga Bude Ira mau ke sini. Kamu ikut jemput ya, sama Papa? Mas Deska juga ikut." kini Yumi memandang ke layar televisi yang masih menyala sembari berkata, "Kamu pulang sekolah langsung pulang lho ya, Papa yang jemput."
Di tengah keterdiamannya, Aina termenung, sebenarnya gadis itu tengah berkecamuk dengan perasaannya. Aina tak suka jika sanak saudaranya berkunjung, bukan bermaksud membenci, hanya saja muak dengan apa yang dibicarakannya. Bude atau kakak dari sang mama itu sering sekali memuja-muji sang anak kepada orang-orang, bahwa anaknya itu serba bisa. Kerap kali merendahkan Aina dan membandingkannya dengan dalih tak bisa melakukan apapun.
Aina yang merasa direndahkan di depan banyak orang tak bisa berkutik banyak. Hanya menampilkan cengengesan bodohnya. Walaupun di dalam hati kebalikannya. Sering juga Budenya itu mengomentari pekerjaan rumahnya yang kurang teratur. Aina membalasnya dengan umpatan ketika Tantenya beranjak pergi.
"Heh malah bengong!" tegur Yumi
"Hehe iya iya Ma."
"Kamu harus bersikap baik lho ya, Tante kamu tuh sering ngomentarin apa yang kamu lakuin. Jaga sikap!" tutur Yumi kepada Aina. Yumi tak mau anaknya direndahkan seperti itu. Memang benar Aina sering membuat kesalahan, tetapi tidak dengan cara seperti itu untuk menegurnya.
"Iya Mamaku sayang."
--------
Aina hendak membaringkan tubuhnya di ranjang menegak kembali dan kembali duduk kala ponselnya menandakan notifikasi masuk. Aina mengambil ponselnya di atas nakas dan membukanya. Ternyata ada panggilan masuk dari Angga.
Aina kebingungan dan memandang ponselnya lama, tak biasanya teman kelasnya itu menghubunginya secara probadi, apalagi malam-malam. Aina pun mengangkatnya dan mengucapkan, "Halo, selamat malam ada yang bisa saya bantu?"
"Selamat malam mbak Aina, di sini saya hanya ingin menginformasikan bahwa besok kumpul ekskul," terdengar suara dari seberang sana.
"Ngapa ngomong ke gue, pakek nelpon segala, chat grupkan ada."
"Lho iya ya gue lupa," sahut Angga dengan cengengesan.
"Hilih. yaudah sana chat grup aja, gue mau tidur nih. Ada ya orang ngasih info malem-malem gini."
"Iye-iye ah maap. Yaudah kalo gitu bye."
Sambungan dimatikan sepihak. Sinting ni orang. Batin Aina.
-------
Ada yang ngerasa kayak Angga sama Aina nggak? Nggak enak ya, serba salah. Pengin jadi busa aja :(
Vote dan komennya jangan lupa, biar semangat upnya.
Ig: nurul.laeni
Tencu❤
KAMU SEDANG MEMBACA
ABU-ABU
Teen FictionIni bukan kisah tentang badboy, coolboy maupun playboy. Ini juga bukan kisah tentang sekolah favorit maupun elit. Ini hanya kisah sederhana yang tidak melulu soal cinta. Tidak putih tidak juga hitam. Tetapi abu-abu. Gadis penyuka warna abu-abu yang...