9// Rasa yang Tertahan

13 2 1
                                    

Kalau nggak punya rasa, tolong jangan terlalu baik. Aku mudah salah paham soalnya.

Setelah lima hari menghabiskan waktunya dari pagi hingga petang di sekolah, kini mereka tengah berkumpul di rumah Thina yang memang sedang lengang. Karena orangtuanya sedang keluar kota untuk menjenguk kerabat mereka yang telah melahirkan beberapa hari lalu.

Tak sepenuhnya mereka hadir, hanya beberapa yang memang gabuters sejati. Namun, si nolep Fandy kini ikut hadir di tengah tengah mereka karena digiring paksa oleh Rini yang memang tetangganya hanya beda tiga rumah.

Tak banyak yang mereka bahas, malah menghabiskan waktunya untuk berleha-leha. Si pencair suasana kini tengah membeli beberapa camilan di minimarket depan.

"Renjani beli camilan apa beli harga diri sih anjir? Lama bener, perasaan udah dari tadi banget keluar." Rini memulai pembicaraan. Tak sabar ingin memakan apa yang mereka beli. Pasalnya ya, Rini itu suka banget kelaparan nggak kenal waktu, padahal badannya kecil, tapi porsi makannya kayak kuli.

"Menelin cogan paling, kayak nggak tau Renjani aja, dia mah nggak mau pacaran tapi nyari cogan mulu." Thina mulai mengemasi barang-barang yang mereka butuhkan.

Tak sengaja matanya menatap kertas karton berwarna biru, ia menatapnya bingung, "Ini kok warnanya apa? Merah terang? Kan temanya monokrom, harusnya item kek kalo nggak putih. Eh abu-abu juga bagus."

"Fara noh yang milih, bagus katanya." Aina menunjuk Fara yang sedang adu panco sama Athar dengan penuh sorakan dari Santi dan juga Ika.

Thina memandang sekitar, teringat Sekar sedang tidak ada di sini. Ia berinisiatif untuk menghubunginya dan memerintahkannya untuk membeli kertas karton yang baru.

Sesaat sudah mengeluarkan ponsel, Thina diam sejenak, menimang-nimang apakah harus menyuruh Sekar atau Angga? Memang keduanya tengah kumpul OSIS untuk rapat di luar agenda.

"Ini yang mau beli Sekar apa Angga ya?" tanyanya.

"Angga aja, Sekar pasti capek." jawab Rini santai dan diangguki oleh Aina.

Darrel yang mendengarnya ikut menyahut, "Lo nggak kasian juga sama Angga? Dia juga rapat."

Thina menimang-nimang sebentar dan berkata, "Angga kan bawa motor sendiri, kalo Sekar biasa ngojol, kasian kalo harus mampir dulu."

"Iya juga sih. Yaudah Angga aja, gue juga nggak kasian-kasian amat sama dia."

"Yeu panci." Aina melempar kulit kuaci di atas meja yang sengaja Athar kumpulkan.

--------

Setelah rapat selesai, Sekar mengemasi barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas. Ia juga mengeluarkah ponsel dari sakunya berniat memesan ojol yang akan ditumpanginya menuju rumah Thina.
Saat akan membuka lookscreen, Angga menghampirinya. "Bareng aja Kar, mau ke rumah Thina kan? Gue juga kok, tapi mereka nitipin gue suruh beli kertas karton."

"Loh bukannya kemaren udah beli?" tanyanya polos.

Angga menipiskam bibir sejenak, "Katanya salah warna, harusnya warna monokrom tapi malah belinya warna merah terang. Emang si Fara tuh egois." katanya bercanda.

"Kenapa nggak beli sendiri aja?"

Sok jual mahal dulu lah, jangan langsung diiyain.

"Hm? Biar ada yang milihin bagusan yang warna apa." ucapnya tanpa beban

"Biar ada yang milihin atau biar nggak keliatan jomblo?" tanyanya menggoda.

ABU-ABUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang