Prolog: Kantin FEB

217 17 0
                                    

"Wah, parah nih. Narsumnya labil banget, anjir!"

Kinar hampir saja membanting hp-nya kalau tidak ingat dulu dirinya telah bersusah payah mengumpulkan uang untuk membeli benda kecil itu. Bahkan, hampir beberapa bulan hanya membawa bekal guna memangkas pengeluaran.

"Kenapa lagi?" Tanya Diandra yang selama ini selalu setia berada di samping Kinara. Diandra memang bukan anak persma sepertinya, tapi satu prodi, bahkan satu kelas di beberapa mata kuliah.

Kinar menyerahkan ponsel ber-case merah muda itu kepada Diandra. "Sabar aja kali, Nar. Mungkin lagi sibuk dia!"

"Sibuk sih sibuk, tapi dari awal bilang aja kali kalau nggak bisa. Nggak usah jadi PHP juga!"

"Sabar. Tau kan pepatah ini? Orang sabar-"

"Orang sabar disayang Tuhan."

"Nah, itu ngerti."

"Balik lagi ke inti masalah. Sabar sih sabar ya, gue. Tapi, ada batasnya. Orang seenaknya buat janji terus dibatalin tuh mending menghilang aja lah, dari muka bumi!"

Tidak hanya sekali dua kali gadis itu mendengar keluh kesah Kinar. Bahkan mungkin sehari sekali, kaya jadwal minum vitamin aja. Eit, tapi Diandra malah seneng kok, itu berarti Kinar benar-benar menganggap dirinya sebagai teman.

"Yuk, kantin aja!"

Keduanya berjalan beriringan menuju kantin, dan memesan dua porsi soto ayam. Dari semua kantin di fakultas kampus tempatnya mengambil S1, FEB juaranya. Bahkan nggak cuma anak-anak FEB aja yang mampir makan, anak-anak dari fakultas sebelah juga-yang paling sering Kinar dan Diandra lihat adalah cowok-cowok berambut gondrong, sering memakai korsa jurusan, atau yang modis sedikit memakai kemeja kotak-kotak dengan kaos di dalamnya. Siapa lagi kalau bukan anak teknik?

Saking seringnya populasi anak teknik yang main ke FEB, makanya tidak jarang cewek-cewek FEB mendapatkan pacar cowok teknik. Tapi tidak berlaku buat Kinara dan Diandra, anaknya ogah banget disakitin sama fuckboy. Walaupun banyak yang bilang anak teknik itu keren, menurut Kinar ya biasa aja. Apalagi nih paling nggak suka ya kalau anak teknik pada cat calling. Di fakultas tetangga aja seakan-akan menguasai, apalagi kalau di kandangnya sendiri? Pasti lebih parah.

Pernah sekali waktu jalan melewati meja segerombolan anak teknik, Kinar dan Diandra mendapatkan catcalling. Belum lama, kira-kira di pertengahan maret kemarin. Lah, anjir ngga sih? Bukannya mau mendogma kalau anak teknik seburuk itu. But, that's a fact. Belakangan Kinar tahu kalau mereka semua dari prodi teknik sipil, iya kelihatan dari korsa warna hijau tua yang dipakai oleh salah satu orang.

"Kiw... cewek!"

Bukannya ngibrit seperti yang dilakukan cewek-cewek lain, Kinar yang kala itu sudah geram langsung berbalik arah dan menuju meja tempat para cowok yang melakukan catcalling terhadapnya dan Diandra. Nggak, Diandra nggak ikut- nyalinya nggak segede Kinar.

"Heh, Mas! Tuh mulut dijaga ya!"

"Weh, ngelunjak nih cewek!"

"Ngelunjak gundulmu, tau nggak yang barusan kalian lakuin tuh namanya catcalling? Paham nggak kalau itu termasuk pelecehan secara verbal?" Tatapan Kinar seakan-akan memancarkan kilatan penuh amarah.

"Santai kali, Neng!"

"Atau jangan-jangan kalian nggak paham lagi, sama jenis-jenis pelecehan? Sekali-kali kalau punya hp canggih tuh dibuat searching, jangan buat main mobile legend sama PUBG terus!"

"Mbaknya feminist, ya?"

"Udah numpang, belagu, sok berkuasa lagi!"

"Uuu... takut!"

Jurnalis KampusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang