Mark Twain

61 6 0
                                    

Kinara menuju sekre setelah selesai mata kuliah etika bisnis. Zio bilang, nggak ada orang di sekre, tapi ada maba yang pengen wawancara. Jadi, Kinara buru-buru datang. Dan betapa kesalnya ketika Kinara udah sampai, Fariz sama Theo udah ada disana. Tahu begitu, Kinara nggak usah tergesa tadi, soalnya ada pembagian kelompok buat tugas seminggu mendatang. Dan siap-siap aja dia bakalan sekelompok dengan kating.

Bahkan, maba yang katanya mau wawancara udah dipegang sama Theo, tapi ya karena sudah terlanjur, Kinara ikutan gabung sama mereka, duduk di pojokan sambil sesekali memainkan ponselnya.

Lamat-lamat Kinara denger Theo bicara, "Oh, jadi pernah baca bukunya Mark Twain? Menurut kamu gimana? Btw santai aja, nggak usah tegang."

"Ya lo nyeremin sih, Bang!" ujar Kinara sambil ketawa bareng Fariz.

"Sejujurnya saya udah sedikit lupa sih, Kak. Soalnya bacanya waktu masih SD dulu, tapi menurut saya novelnya Mark Twain ini mengajarkan saya tentang persahabatan, dan Tom, karakter utama yang ada di cerita ini digambarkan oleh Mark sebagai anak kecil yang pemberani."

"Sama kaya buku yang lo baca tuh, Kin!"

"My Gosh!"

Itu udah dua tahun yang lalu, tapi kenapa sih Fariz masih ingat? Dulu waktu Kinara daftar di persma, dia menyantumkan nama Mark Twain sebagai salah satu penulis buku yang pernah ia baca pada essay pengalaman literasinya, tapi belakangan Kinara tahu kalau dia salah nulis. Karena seharusnya nama pengarang yang dirinya tulis adalah Ernest Hamingway. Jadi bisa kan bayangin betapa bedanya isi buku yang mereka baca?

Bahkan Theo ikut ketawa karena waktu itu dia juga ada diaaat Kinara diwawancara. Sementara maba yang dirinya wawancara jadi bingung.

"Diem ya, Bang. Pada akhirnya kan gue ngasih tahu lo, apa dan siapa yang gue baca!"

"Udah ah, kalian jangan berantem. Kasihan nih jadi berasa tertekan."

Semuanya spontan diam, tapi Theo melirik sebentar ke arah Fariz. "Ini pertanyaan sedikit nakal ya!"

Kinara inget banget ini, dua tahun yang lalu juga si Fariz nanya ke dia. Dan Kinara pikir, itu pertanyaan apaan, pakai tanya kaya gitu segala. Malahan gadis itu mengira kalau yang jadi pertanyaan adalah yang menyangkut privasinya.

"Nggak usah hobi bikin mahasiswa kipikiran ya, Bang!"

Bibir Theo terangkat sedikit, sama dengan Fariz yang kini malah cengengesan nggak jelas. Gadis yang kini duduk bersila di depan Theo terlihat sedikit canggung.

"Kalau disuruh milih antara organisasi sama kuliah kamu bakalan pilih mana?"

"Kuliah lah, kuliah dek!" Bukan si maba yang jawab, tapi Kinara.

"Kin, lo ngerecokin terus deh!"

Nggak resmi-resmi amat memang, soalnya ini bukan interview kerja. And yeah, hampir semua anggota persma itu slengean, makanya begini jadinya.

Dulu, waktu Kinara ditanya begitu, dirinya jelas saja memilih kuliah. Tujuannya di kampus ini adalah kuliah, sementara kegiatan yang lain itu adalah penunjang. Mau jujur aja, tapi jangan bilang ke Fariz sama Theo ya, niatnya sih dulu biar nggak gabut. Eh, ternyata sekarang malah keterusan.

"Kuliah, Kak!" Lia merasa harus menjawab pertanyaan seniornya dengan jawaban yang sama seperti yang disarankan oleh Kinara, karena yeah... tujuannya disini memang untuk kuliah.

Theo mengangguk. "Oke. Ini yang terakhir. Menurut kamu, kenapa saya harus milih kamu sebagai anggota?"

Dengan percaya diri Lia menjawab, "Karena saya memiliki keinginan untuk belajar."

Jurnalis KampusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang