Aku dan Raihan berjalan beriringan sambil sesekali tertawa karena candaan yang dilontarkan Raihan. Aku menemaninya mencari baju untuk dipakainya wisuda minggu depan.
Setelah sampai ditempat yang kami tuju, Raihan langsung sibuk memilih baju. Kini aku berdiri memperhatikan Raihan yang sedang memilih baju untuk wisudanya. Sesekali dia memang meminta pendapatku. Aku hanya bisa memastikan bahwa dia cocok menggunakan baju apapun.
Saat dia pergi untuk membayar ke kasir, aku berjalan keluar toko terlebih dahulu. Tanpa sadar, tubuhku menabrak seseorang. Aku menunduk dan meminta maaf padanya.
"Tiffany?"
Aku yang mengenali suaranya pun mengangkat wajahku dan beralih menatapnya. Tepat sekali sesuai dengan sosok yang aku bayangkan dikepalaku.
"Wahh~ benar kau Tiffany." Dia tersenyum, senyum meremehkan persis seperti empat tahun lalu.
Aku hanya terdiam, malas menanggapi. Semoga Raihan cepat menyelesaikan urusannya. Aku benar - benar tidak ingin berhadapan dengannya. Semua hal tentangnya membuatku muak.
Tangannya meraih pundakku sontak mataku menatapnya tajam dan hendak menepis tangannya. Namun, tangannya terlebih dahulu terhempas.
Ya, Raihan pelakunya. Dia menarik tubuhku mendekat.
"Woah Bro. Aku tahu dia cantik, tapi bukankah tidak sopan sembarangan menyentuhnya seperti itu?" Raihan tersenyum sinis menatapnya.
"Ya Tuhan, bolehkah aku berharap dia memang tulus menyukaiku bukan sebagai pelarian?" Aku menatap tangan Raihan yang masih betah memegang bahuku untuk tetap berada disisinya.
"HAHAHAHA" Ravi - nama seseorang itu- tertawa dan wajahnya menunjukkan bahwa dia sedang marah dan tersinggung. Aku cukup tahu dengan kebiasaannya.
Ravi menatap Raihan dari atas sampai bawah, "Hei Tiffany, aku minta maaf. Empat tahun lalu semua hal yang aku katakan hanya karena aku belum dewasa."
Bohong, jelas sekali matanya menunjukkan bahwa dia hanya bersandiwara.
"Gapapa, aku juga udah lupa."
"Kehadiranmu dalam hidupku tidak sepenting itu, tau ga?" batinku, "Sok kecakepan banget si!"
Aku yang memang malas meladeninya hanya bisa ikut dalam permainannya. Aku berbisik pada Raihan untuk segera pergi dari sini. Raihan yang mengerti pun mulai melangkahkan kakinya hendak pergi. Namun, Ravi kembali menghentikkan langkah kami.
"Ah, aku mau makan. Tidak kah kalian ingin bergabung?" Tanya Ravi.
Bergabung palalulelo -_-
Dengan tegas aku menjawab tidak, namun sepertinya perutku memang tidak bisa diajak kompromi. Dasar perut tidak tahu malu, tiba - tiba saja perutku berbunyi menandakkan bahwa perutku lapar.
"Sial!" Rasanya aku ingin menjadi buih saja.
Bisa ku lihat, Ravi menunjukkan senyum liciknya yang membuatku malas dan entah karena apa Raihan tiba - tiba saja menyetujui ajakan Ravi. Hingga akhirnya, disinilah kami. Disebuah restoran untuk mengisi perut kami.
Seperti bayanganku, makan bersama Ravi bukanlah ide yang bagus. Sepanjang waktu dia hanya membahas semua kenangan tentang kami saat SMA. Kenangan? Huh! Sungguh, kalau bisa aku ingin menghapusnya sekarang juga.
Aku hanya menanggapi sekedarnya. Makanan yang tadinya terlihat enak, rasanya menjadi kacau balau gara - gara Ravi. Raihan pun terlihat tidak terlalu menikmati makanan ataupun ocehan Ravi yang tidak jelas. Sedari tadi dia hanya terdiam dan sesekali tersenyum menanggapi perkataan Ravi. Kalau seperti ini, untuk apa tadi dia menyetujui ajakan Ravi -_-
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonglade [END]
RomanceHari demi hari, aku selalu melihatnya berjalan melewati rumahku. Tatapan sendu tak pernah lepas dari wajah tampannya. Ingin sekali aku menghampiri dan menghiburnya, namun siapa aku? Bahkan untuk sekedar menyapapun tak bisa. Aku hanyalah seseorang ya...