Aku berdiri kaku didepan sebuah rumah putih yang terlihat mewah namun sepi. Jauh dari kata hangat. Aku tidak sendiri, disampingku berdiri Raihan yang terlihat tidak begitu semangat. Dia hanya menatap kosong ke arah rumah itu.
"Ga usah gugup, ini hanya kunjungan biasa," ucapnya yang seolah mengerti bagaimana perasaanku sekarang.
Perlahan dia mulai menggenggam tanganku. Saling memberi kekuatan satu sama lain.
Tak mau lebih lama lagi hanya berdiri, kami pun mengetuk pintu dan segera masuk setelah pintu dibukakan. Ada seorang bibi yang membukakan pintu untuk kami. Dia mengarahkan kami keruang tamu, dimana Mama Raihan sudah menunggu.
Dia tersenyum menyambut Raihan dan mempersilahkan kami untuk duduk. Tak lupa aku memberinya bingkisan yang tadi sudah kami siapkan. Tak mungkin aku datang dengan tangan kosong, kan?
Kami berbincang barang sebentar hingga suaminya menghampiri kami dan mengajak kami untuk makan bersama. Tak ada banyak hal yang kami perbincangkan selama makan. Setelah selesai makan, aku pun membantu bibi untuk membereskan piring dan mencucinya. Bisa dibilang, aku sedang berusaha mengambil hati calon mertua (?) Hahaha.
Raihan dan Mamanya tidak beranjak dari meja makan, aku memberi mereka ruang untuk berbicara. Namun dari tempatku mencuci piring tentu saja aku masih bisa mendengar dan melihat mereka.
Mama Raihan membuka pembicaraan mengenai rencananya untuk pergi ke luar negeri. Raihan terdiam sejenak, hingga kemudian dia mulai mengucapkan sepatah dua patah kata.
"Aku tidak memiliki hak untuk melarang Mama. Aku hanya berharap Mama tidak akan lupa untuk sesekali pulang kesini dan menemuiku," ucap Raihan sambil menunduk.
Mamanya hanya mengangguk menanggapi perkataan Raihan.
"Juga, aku harap Mama mau menghadiri pernikahan kami," ucapnya melanjutkan.
Sontak aku menoleh terkejut, begitu pula dengan Mama Raihan.
"Kalian akan menikah?" Tanya Mama Raihan tidak percaya.
"Tentu saja kami akan menikah, hanya saja aku belum menentukan tanggalnya," ucapnya mantap tanpa melihat kearahku.
Aku terdiam ditempatku. Bahkan dia belum melamarku, namun tiba - tiba saja dia mengatakan hal seperti itu kepada Mamanya. Tentu saja aku senang, namun hal ini terlalu mendadak untukku.
Raihan beralih menatapku, "Ngapain diam disitu? Sini duduk."
Aku pun menghampirinya dan duduk disebelah Raihan.
"Hmmm, aku harap kamu bisa menjadi istri yang baik dan menemani Raihan," ucap Mama Raihan terlihat tulus menatapku.
Entah apa yang membuatnya mulai menerimaku. Aku memang penasaran, namun tak ada niatan untuk menanyakan kepadanya.
Aku pun hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Setelahnya tak ada lagi hal yang dibicarakan. Aku dan Raihan pun memutuskan untuk pulang dan berpamitan.
Sepanjang perjalanan ingin sekali aku bertanya perihal perkataannya pada Mamanya tadi. Namun lidahku terasa kelu dan dia pun hanya bungkam. Aku penasaran, namun aku tidak bisa berbuat apa - apa. Rasa gengsiku lebih besar dari rasa penasaranku.
Setelah sampai didepan rumah, aku pun langsung turun dan ternyata Raihan ikut turun bersamaku. Dia terlihat berdiri dengan resah. Gestur tubuhnya memperlihatkan bahwa dia memiliki sesuatu untuk dikatakan padaku, namun sepertinya dia ragu.
"Ada apa?" Tanyaku padanya yang tak kunjung berbicara.
"Kamu mau menikah kan denganku?" Ucapnya menatapku.
"Tiba - tiba?"
"Engga, bukan tiba - tiba. Sebenarnya aku sudah lama memikirkannya. Tapi aku tidak tahu harus menyampaikannya seperti apa, kamu tau sendiri aku bukan orang yang romantis."
Entah mengapa aku tiba - tiba saja tertawa. Menurutku dia lucu saat salah tingkah seperti sekarang ini.
"Kenapa kamu tertawa?" Ucapnya takut.
"Eeeyyy, aku baru tahu kamu sepenakut ini. Bahkan untuk melamar aja ga percaya diri."
Dia menatapku semakin penasaran dengan ucapanku.
"Kamu tau, yang paling penting buatku bukan cara melamarmu. Tapi jika kamu emang udah yakin, aku hanya bisa mengiyakan bukan? Karena aku sudah dari lama yakin kepadam," ucapku pada akhirnya.
Perlahan senyumannya mengembang, dia pun segera beralih memelukku. Ucapan terima kasih tak henti - hentinya dia ucapkan. Padahal aku yang seharusnya berterima kasih, karenanya aku bisa sampai dititik ini.
"Sebentar, sebenarnya aku membawa sesuatu untukmu."
Raihan pun menuju mobilnya dan terlihat mengambil sesuatu. Setelah didepanku dia pun menunjukannya.
"Bunga gardenia," ucapku spontan.
Dia mengangguk, "Kamu pasti tahu makna bunga ini kan?"
"Bunga Gardenia atau biasa dikenal dengan kacapiring mengisyaratkan kau yang terindah. Bunga gardenia berwarna putih juga mengambarkan kepercayaan, harapan, kejelasan, mimpi, dan perlindungan."
"Tepat sekali! Itulah pesan yang ingin aku sampaikan untukmu," ucapnya tersenyum bangga.
"Apaan ini, kayanya kebalik deh. Harusnya kamu ngasih ini sebelum melamarku," protesku.
"Oh iya ya." Dia tersenyum kikuk dan aku hanya bisa tertawa kecil dibuatnya.
Seperti itulah kisah kami. Aku yang pada awalnya melihatnya sebagai pantulan rembulan di air, terlihat indah namun tidak bisa ku gapai. Ternyata aku salah, dia memang terlihat indah namun pada akhirnya aku bisa menggapainya. Saat aku menggapainya, ada banyak hal yang membuatku terkejut. Karena semakin aku mengenalnya, semakin aku terus mengaguminya.
Layaknya pantulan rembulan yang terlihat indah, namun ternyata saat kau melihat rembulan yang sebenarnya kau akan lebih mengagumi sang rembulan.
End.
Maaf endingnya gaje 🤣🤣🤣 maksain banget ini udah stuck gara - gara sibuk tapi ga pengen ada cerita yang belum tamat sebelum aku fokus sibuk dulu wkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonglade [END]
RomansaHari demi hari, aku selalu melihatnya berjalan melewati rumahku. Tatapan sendu tak pernah lepas dari wajah tampannya. Ingin sekali aku menghampiri dan menghiburnya, namun siapa aku? Bahkan untuk sekedar menyapapun tak bisa. Aku hanyalah seseorang ya...