Perlahan aku membuka mataku, cahaya mulai masuk kedalam indera penglihatanku. Aku berusaha mengumpulkan kesadaranku sepenuhnya, hingga berikutnya aku mengedarkan pandanganku berusaha mencari tahu posisiku. Ruangan yang sangat asing.
Seketika aku teringat akan kejadian sebelumnya. Tak lama aku menyadari bahwa kaki dan tanganku diikat oleh kain pada ujung - ujung tempat tidur. Andai aku bukan sedang diculik, aku akui kasur ini terasa nyaman. Interior ruangan yang serba hitam ini pun terlihat cukup rapih dan mewah.
Tak lama setelahnya, aku mendengar langkah kaki yang mulai mendekat. Langkahnya terdengar santai namun tegas. Aku berusaha mengingat apa yang telah aku lakukan, hingga bisa seperti ini. Namun yang aku rasakan hanyalah sakit kepala karena tidak bisa mengingatnya.
Pintu pun akhirnya terbuka, menampakan sosok seseorang yang terakhir kali aku ingat dalam ingatanku sebelum aku kehilangan kesadaran. Pakaiannya sudah berubah, terlihat seperti laki - laki sopan dan berasal dari kalangan yang berada. Kemejanya pun bermerk dan sepertinya mahal. Ditangannya dia membawa nampan berisi makanan dan minuman. Jika memang dia berasal dari keluarga kaya, lantas untuk apa dia melakukan ini? Uang? Sudah pasti dia punya banyak. Wajahnya pun terlihat cukup tampan, dengan wajah seperti itu dan uang yang banyak bukankah seharusnya akan banyak wanita yang mengantri untuknya? Kenapa dia harus mengurungku yang bukan siapa - siapa ini disini?
"Kamu sudah bangun tidur, sayang?"
"Tidur apanya?! Kamu sendiri yang membiusku hingga tak sadarkan diri." Aku mendelik tajam mendengar kata sayang yang terucap dari mulutnya. Tidak terdengar romantis sama sekali, malah terdengar mengerikan.
"Jangan menatapku seperti itu." Dia mendekat padaku dan tersenyum menyeringai. Aku pun memalingkan wajahku darinya.
"Bukankah kamu yang pertama kali menarik perhatianku?" Dia melanjutkan.
"Jangan menangisi seseorang yang sudah tidak mencintaimu, kamu berhak bahagia." Dia mengucapkan kalimat itu, lantas kembali tersenyum menyeringai.
Mendengar itu, aku teringat bahwa aku pernah mengucapkan kalimat itu pada seseorang.
Flashback.
Aku berjalan santai sambil bersenandung sesekali menikmati angin segar di sore hari. Saat sampai digerbang toko, mataku menangkap seseorang sedang menangis dibangku seberang tokoku. Aku melihat ditangannya dia memegang sebuah foto. Dia menangis sambil menatap foto itu.
"Patah hati?" Pikirku.
Tidak seperti biasanya, aku menghampirinya. Padahal aku biasanya hanya akan diam tanpa memperdulikan oranglain. Entah mengapa, aku teringat pada diriku yang dulu menangis tanpa ada bahu untuk bersandar.
"Jangan menangisi seseorang yang sudah tidak mencintaimu, kamu berhak bahagia."
Aku pun memberikan ia setangkai bunga mawar kuning yang melambangkan kehangatan dan kepedulian.
Flashback end.
Melihat perubahan ekspresiku, dia pun tertawa keras dan menatapku puas. Aku hanya bisa terdiam dan memalingkan wajahku. Ya, ini karena kesalahanku telah peduli pada orang yang salah.
"Akhirnya kamu mengingat pertemuan pertama kita."
Aku hanya terdiam, malas untuk membalas pun aku sudah tidak memiliki tenaga untuk berbicara.
Dia pun terlihat ingin menyuapiku makan, namun aku memalingkan wajahku. Dia pikir, aku mau makan makanan darinya? Aku tidak sebodoh itu, tidak ada yang menjamin bahwa makanan itu aman tanpa racun.
Sekali dua kali dia berusaha untuk memberiku makan, namun aku menutup bibirku rapat tak ingin memakan apapun. Lama kelamaan amarah menyelimuti dirinya, dia pun membanting piring yang dipegangnya dan menatapku tajam. Aku membalasnya dengan tatapan yang sama tajam, tak ingin memperlihatkan bahwa aku sedang ketakutan.
"Cari makan sendiri! Terserah! Aku benci perempuan keras kepala sepertimu!"
Dia langsung pergi dan membanting pintunya keras.
"Kalau benci harusnya lepaskan aku sekarang!" Aku berteriak frustasi.
Namun tidak ada tanda - tanda bahwa dia kembali dan akan melepaskanku. Aku hanya bisa menatap pintu itu nanar. Entah kapan pertolongan akan datang padaku. Semoga saja Raihan membaca pesan dariku.
Aku menghembuskan nafasku kasar. Aku tidak tahu harus berbuat apa diposisi ini. Tubuhku benar- benar terkunci. Tidak ada cara lain bagiku selain berdoa mengharap perlindungan-Nya.
Hari sudah berganti, terlihat dari cahaya yang masuk dari langit - langit kamar. Perutku terasa sangat lapar, tubuhku sudah tidak berdaya. Namun, aku pasti kuat menahan semuanya. Aku mendengar langkah kaki yang kembali mendekat. Langkah kaki yang masih sama dengan yang kemarin malam.
Lagi, dia masuk dengan senyum yang mengerikan dan ditangannya terdapat nampan yang berisi makanan dan minuman. Aku haus dan lapar, namun aku tidak bisa menerima makanan atau minuman yang diberikan olehnya.
"Kenapa wajahmu pucat sekali?" Dia bertanya dengan wajah khawatir, namun perasaanku tidak tersentuh sedikit pun dengan perlakuannya.
Aku terus terdiam, walau dia beberapa kali mengajukan pertanyaan yang menyebalkan. Hingga kembali dia berniat untuk menyuapiku, rasanya aku ingin menepis tangannya dan membanting piringnya. Namun aku tidak bisa, tubuhku terkunci. Aku hanya bisa memalingkan wajahku sebagai bentuk penolakan dariku.
Saat dia akan mencoba menyuapiku kembali, terdengar suara kegaduhan dari luar. Dia pun segera mengintip dari balik jendela.
"Sial! Siapa yang menelepon polisi - polisi sialan itu?"
Aku hanya tersenyum sinis mendengar umpatan yang keluar dari mulutnya.
"Aish! Tunggu saja, aku akan kembali mendapatkanmu!" Dia beralih menatapku dengan tatapan mengancam.
Dia pun lari entah kemana. Sepertinya dia berencana kabur. Tidak, seharusnya dia tidak boleh kabur. Namun, tubuhku tidak bisa menahannya. Mungkin harus kubiarkan saja kali ini, namun aku tidak akan membiarkannya lolos selamanya. Akan ku pastikan bahwa aku bisa menangkapnya.
Tak lama beberapa langkah yang terdengar setengah berlari semakin mendekat ke arahku.
"Terimakasih Engkau masih memberiku kesempatan untuk tetap hidup." Aku berdoa didalam hatiku.
Wajah pertama yang aku lihat dari balik pintu itu adalah Raihan. Wajahnya terlihat lelah, apa mungkin dia tidak tidur semalaman?
"Raihan." Aku berusaha menyebut namanya, namun karena tenagaku habis sepertinya itu sia - sia. Tidak ada suara yang keluar dari mulutku.
Raihan menghampiriku dan melepaskan semua tali yang mengikatku, dibantu oleh beberapa polisi yang mengikutinya. Tak lama dia menatapku dan membelai wajahku.
"Apa kamu baik - baik saja?" Dia bertanya, aku pun hanya menjawabnya dengan mengangguk perlahan - lahan.
"Sudah aman, tenang saja. Para polisi sedang mengejarnya." Raihan memelukku erat, terasa hangat seperti pelukan orangtuaku yang sudah lama aku rindukan.
Setelahnya dia membantuku berjalan untuk keluar dari rumah ini. Dia menuntunku untuk masuk ke mobilnya.
"Kamu terlihat lemah, Tiff. Kita ke Rumah Sakit ya?"
Sekali lagi, aku hanya mengangguk. Aku sudah terlalu lelah. Tenagaku habis. Sejujurnya aku ingin menyuruhnya untuk beristirahat juga, namun untuk berbicara pun tenagaku sudah tak bersisa.
Lama kelamaan aku sudah tidak bisa menjaga kesadaran diriku. Aku lelah, sungguh. Hingga akhirnya, semua disekitarku kembali menjadi hitam. Biarkan aku beristirahat sekarang.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonglade [END]
RomanceHari demi hari, aku selalu melihatnya berjalan melewati rumahku. Tatapan sendu tak pernah lepas dari wajah tampannya. Ingin sekali aku menghampiri dan menghiburnya, namun siapa aku? Bahkan untuk sekedar menyapapun tak bisa. Aku hanyalah seseorang ya...