Terbangun di pagi hari dengan suasana yang berbeda. Menutup lembaran yang sudah usang, digantikan dengan Aku yang membuka kedua bola mata ku, dan selalu berdoa. Berharap untuk dapat menemukan kebahagian disetiap langkahku.
.
.
.
.
.Keadaan seolah mengerti bahwa Kami tidak boleh terlalu lama berada dalam lautan kesedihan yang berlarut. Sehingga dengan itu, Aku dapat merasakan bahwa udara pagi yang berganti begitu segar serta menenangkan hati dan pikiran.
Jika dilihat dan dirasakan lebih jauh, di Kota baru ku sangat asri dan indah. Tidak ada polusi udara, selalu terdengar kicauan burung yang bersautan seolah mengiringi kepergianku menuju sekolah di pagi hari. Pun dengan Aku yang melihat hamparan sawah selalu mendapat siraman hangatnya matahari pagi. Membuatku menjadi lebih bersemangat dan tidak memikirkan lagi sesuatu yang membuatku tidak bahagia.
Satu fakta yang belum kuberitahu adalah tentang masyarakat di Kota baru yang jarang menggunakan angkutan transportasi berpotensi mencemarkan lingkungan. Sehingga tidak jarang Aku akan menemukan banyak penduduk asli di Kota baru, menggunakan sepeda atau dengan berjalan kaki untuk menempuh perjalanannya.
Agak sedikit aneh untuk disebut Kota karena situasi seperti ini dapat dikatakan sebagai keadaan di suatu pedesaan.
Tidak tahu alasannya dengan pasti, yang jelas Kota ini tidak mau jika disebut dengan Desa. Sebab mereka berpikir bahwa suatu Kota pun masih tersimpan sisi keasrian dan kebersihannya.
Keluarga ku tidak sepenuhnya mengikuti aturan yang ada pada Kota ini, karena setelah kejadian Aku melihat temanku diantar oleh orang tua Mereka, Aku meminta agar Mama selalu mengantar dan menjemputku dengan menggunakan sepeda motor.
Penduduk asli Kota baru tidak mempermasalahkannya, karena Mereka mengetahui jika Kami bukan berasal dari Kota ini, sehingga Mereka memaklumi bahwa Kami belum dapat beradaptasi dengan cepat untuk lingkungan seperti ini.
.
.
.
.
.
.
.
.||°
.
.
.
.
.
.
.Aku selalu melambaikan tanganku kepada Mama yang hendak meninggalkan lapangan sekolah setelah dengan senang hati mengantarku untuk bersekolah. Lambaian tangan ini adalah sebagai isyarat salah satu perpisahan sementara untuk Aku pergi bersekolah. Lucu, tapi inilah kebahagian kecil yang Kami ciptakan.
Setelah kepergian Mama, Aku memasuki ruang kelas ku yang sama seperti hari sebelumnya. Sudah terlalu ramai siswa maupun siswi yang duduk dibangku mereka masing-masing. Aku pun dengan senyuman yang selalu menghiasi wajahku datang mendatangi meja belajarku yang berada posisi paling belakang kelas.
Tapi, Ada yang aneh pada meja belajarku.
"Maaf, apa kamu sengaja menaruh buku mu diatas meja ku?" Aku bertanya kepada teman yang berada di samping meja ku.
"Engga kok, tapi sih Aku liat ada yang taro buku itu disitu."
"Siapa?"
"Itu, laki-laki yang duduk di meja paling depan."
Aku langsung memusatkan penglihatanku kearah meja terdepan. Lelaki itu sedikit gugup dan menjatuhkan beberapa alat tulis yang berada pada genggamannya akibat Aku melihatnya secara cepat. Aku tersenyum melihat tingkahnya yang sedikit lucu.
Ku biarkan bukunya berada diatas mejaku. Toh, jika Dia membutuhkannya pasti akan diambilnya buku ini dari atas mejaku.
Pelajaran kemudian dimulai dengan materi pemahaman bahasa yang biasa digunakan di Kota baru. Sedikit demi sedikit Aku mulai memahaminya agar Aku dapat membantu Kakak dalam penggunaan bahasa ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Up and Down
RandomCukup menikmati dan mensyukuri apa yang sudah diberi . . . . . . . . bahasa : campuran (Indonesia-Inggris) Based on true story (SLOW UPDATE)