5 | zea : what's on her mind

32 8 2
                                    

Pagi ini terasa lambat. Setelah sholat subuh, Bang Zehan lagi-lagi meneriakiku untuk langsung mandi dan sarapan di sekolah.

Bagiku itu hal paling menyebalkan darinya. Aku paling tidak bisa sarapan telat, lebih baik aku tidak makan.

Oh ya, namaku Zea.

Soal aku yang menulis surat untuk Fanya, itu benar-benar aneh. Aku tidak mengerti sebenarnya apa yang kulakukan. Lagi pula, buat apa sih aku menulis surat tidak jelas itu?

Sadar Zeaaa!

Woi, kamu itu hanya menambah bebannya!

Dan, mungkin, justru menambah beban diriku sendiri.

Kelihatannya memang iseng, tapi aku pernah berharap ingin punya teman seperti Fanya. Apalagi sekarang, setelah sahabat terbaikku hilang dari pandangan. Cuma sahabatku itu sepertinya yang mengerti aku.

Kini seragam putih biru telah melekat di tubuhku.

Rok biruku masih panjang karena tinggiku di bawah rata-rata dengan tubuh seperti kurang gizi.

Kau tahu? Di lain sisi aku ingin gemuk, tapi ketika orang lain berkata mereka ingin kurus ... tidak bisa disangkal juga keinginan setiap orang. Termasuk aku. Apa manusia tidak pernah puas dengan penampilannya?

Meskipun begitu, mungkin diriku lebih buruk dari yang kau bayangkan, kulitku cokelat---tapi bukan cokelat manis. Ini lebih seperti gosong karena hasil main-mainku di lapangan sejak SD sampai kelas 8.

Paling tidak dua minggu sekali aku mencuci muka dengan sabun wajah batangan. Aku lebih aneh, tidak, sih, dibanding teman-temanku yang diam-diam membawa sabun cuci muka ke sekolah?

Kulihat sebuah cermin yang menggantung dekat pintu ruang tamu.

Bang Zehan sedang mengenakan sepatu sambil menilik isi tas hitamnya di teras.

Begitu aku melangkahkan kaki menuju pintu, kusempatkan menoleh ke kanan, di mana cermin itu berada, menghadapku.

Itulah diriku yang bertubuh kerempeng. Tulang di pergelangan tanganku itu terlihat sangat menonjol---setidaknya itu yang kuperhatikan. Lanjut, aku kembali menatap manikku di sana.

Kukedipkan mata sekali.

Dua kali.

Tiga kali.

Ah, sok cantik kamu, Ze, padahal mah---

"Woy, buru! Nggak usah meratapi nasib!"

Suara Bang Zehan meringis, kulihat ia pura-pura cemberut di atas motornya.

Aku mencibir, segera ke luar dan mengunci pintu.

Kami tinggal bersama Ayah saja. Beliau tidak akan benar-benar peduli pada kami, dan rumah ini. Aku dan Bang Zehan yang selalu membereskannya.

Beliau tidak peduli. Bahkan dengan mental ciutku ini. Atau hal hebatnya, dengan laki-laki pemenang olimpiade fisika yang akan mengantarku ke sekolah hari ini.

¤▪¤

Aku selalu bahagia saat pergi ke sekolah. Aneh, padahal aku tidak punya teman baik di sana.

Dan, aku sedikit belajar tadi pagi.

Haha, secara tidak sadar.

Mungkin itulah mengapa aku selalu senang memperhatikan teman-temanku bercengkerama dan bercanda di mana pun. Karena mereka sendiri juga tidak buruk dipandang. Aku malah senang melihatnya.

would you like to share it with me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang