7 | berani menolak!

20 7 12
                                    

Pekerjaan mereka akhirnya selesai. Sebenarnya tinggal beberapa bagian lagi untuk di-print, dan tentunya bagian Zea. Ia agak jengkel pada Terra yang sejak tadi belasan kali menyuruh ini-itu.

"Napa liat-liat?" tegurnya.

Zea menggeleng.

Padahal Zea yang akan presentasi, tapi mengapa ia merasa tugasnya makin banyak? Harus nge-print 'stiker lucu-lucu' yang dimaksud Pak Qomar kemarin, pula. Ia mendengus tanpa sadar.

Tiba-tiba seunit city car putih berhenti di depan rumah Terra. Dari pintu ruang tamu yang terbuka, empat remaja itu bisa melihatnya di balik pagar, diikuti dengung mesin yang terdengar.

Kaca yang menghalangi kabin perlahan turun, menampakkan wajah seorang setengah baya berkerudung biru langit.

"Oh, emak gua." Silmi beranjak, berjalan ke luar. Ia yang paling siap pulang sejak tadi. Terrano menyusul untuk salim pada ibu Silmi.

"Sst! Ngek, congek?"

"Woy!"

Zea menggelengkan kepala sekian kali, ketahuan bengong. Dilihatnya Terra yang juga memandangnya heran.

"Pulang sono. Silmi udah dijemput. Jangan lupa entar nge-print yang baru, sama ... oh, lu bakal presentasi." Terra mengingatkan sambil mengedikkan dagu ke teras rumah. Berdiri Terrano, Silmi, dan perempuan berhijab itu tengah berbincang sambil tertawa.

"Dasar tebar pesona," gerutu Terra pelan sambil melirik pada saudaranya. Gadis berbaju khaki itu turut meninggalkan ruang tamu.

Zea membereskan barang-barang dan menyeleting tasnya. Gadis itu melangkah ke beranda depan. Ia harus segera memesan ojek daring ke rumah, atau mungkin ke toko fotokopi.

Sepertinya, ke toko fotokopi dengan ojek daring tidak memungkinkan karena khawatir bakal menunggu lama. Ke rumah apalagi. Terakhir pergi, Ayah bilang printer-nya rusak.

"Eh, kamu mau bareng, nggak?"

Suara lembut itu menyapa telinga Zea. Wanita itu, sepertinya ibu Silmi. Dengan senyum, Zea menolak. "Nggak, Tan. Saya mau ke sekolah soalnya, jauh," jawab Zea bohong.

"Kebetulan tante juga mau ke sana. Tapi nganterin Silmi ke sepupunya dulu di WkD," jelas wanita itu tersenyum ramah. Silmi di sebelah ibunya hanya bungkam dan tidak mau larut dalam pembicaraan yang lama.

Zea diam-diam ingin menepuk dahi. Masa dia harus bohong lagi? Pasti memalukan banget.

"Iya nggak?" Wanita itu kini menatap semua anak di depannya menuntut kesetujuan, "Daripada bikin macet nambah-nambahin kendaraan di jalan, mending bareng tante. Nggak lama kok ke WkD-nya."

Zea nggak bisa basa-basi. Baiklah, mungkin dia harus ikut alurnya. Pasti di dekat gang sekolah banyak tukang fotokopi. Ah, baguslah! Zea mengangguk malu-malu. Tak sadar seseorang berdecih di belakangnya.

Mereka bertiga akhirnya masuk ke mobil. Tentunya Silmi bersama ibunya duduk di jok depan. Sementara Zea bersama kecanggungannya di belakang. Dan selama perjalanan, tidak ada yang memulai percakapan.

¤▪¤

Sebuah gedung restoran cepat saji dengan warna dominan merah dimasuki ketiga orang itu. Zea hampir terpeleset akibat adanya es krim tumpah di depan pintu kaca. Gadis itu refleks berdiri tegak lagi dan menyusul.

"Kita duduk di sini, ya. Anggi belum dateng," ucap ibu Silmi sambil meletakkan goodie-bag polosnya di salah satu kursi resto---Anggi adalah sepupu Silmi yang ia tunggu-tunggu.

would you like to share it with me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang