6 | so don't take it personally

29 7 3
                                    

Zea menatap loker A3 itu penasaran sebelum kembali ke rumah.

Apa ada balasan?

Dengan gatal, ia membuka pintu kecilnya dan tertegun. Mengangkat kedua alis perlahan.

Ada dua surat, ia yakin salah satunya itu surat miliknya. Gadis itu segera mengamit mereka.

¤▪¤

Zea mendudukkan diri di atas kasur. Membuka surat Fanya dengan bergetar---meskipun Zea hanya menunggu sehari setelah ia mengirim suratnya lebih dulu.

Ia membaca dalam hati surat tipis itu. Sebuah kalimat kilat yang sekejap dapat membuat gadis itu cemas.

Zea menarik napas dalam-dalam, melipat kertas itu lagi. Tanpa sadar, ia langsung melempar benda itu jauh ke dekat pintu kamar.

Matanya terpejam perlahan dan kembali terbuka. Ia rebahkan dirinya ke atas kasur, menerawang langit-langit.

Matanya jengah.

Satu titik hitam menarik perhatiannya yang ada pada plafon. Seperti dirinya yang hitam dan penuh kenetralan di antara yang lain. Dan baru kali ini, Zea merasa, hidupnya begitu monoton. Pikirannya tidak hanya bertumpu pada satu hal.

Namun segalanya adalah hal tentang sekolah.

Di sana, hampir setiap hari gadis introvert itu bertemu orang banyaj. Melelahkan sih, tapi ini bak paksaan bagi seorang siswi. Sapa sedikit, senyum sedikit, juga tidak digubris oleh yang lain.

Tidak ada kebahagiaan di sana. Ia hanya senang makan dan tidur di kelas.

Teringat lagi olehnya hal lain. Belajar. Review. Ujian. Banyak lagi yang memenuhi pikirannya. Ia merasa tidak pernah bisa berubah. Semenjak hatinya kian gelisah ditinggalkan sahabat terbaik, dan kecaman alam bawah sadarnya akan masa depan. Banyak hal baru yang datang dan menghilang tiga bulan belakangan.

Zea berusaha melirik ke bawah pintu. Ia memaklumi surat tersebut.

Fanya punya kehidupannya sendiri, ia tidak seharusnya masuk dan ikut campur dan menelisik ke dalam. Atau terus-terusan meneror gadis yang beraura positif itu dengan kata-kata sok akrabnya. Tidak seharusnya ia mengirim surat itu sedari awal. Baru dua surat yang ia dapatkan, membuat Zea merasa tidak enak pada gadis itu.

Apa diputusin aja? Ah, udahlah.

Zea mengambil pulpen.

¤▪¤

"Mau ke rumah siapa, lu?"

Abangnya itu menatap Zea curiga.

Hari ini tumben banget Zea pergi ke luar, katanya mau ke rumah temen. Dia tahu sejak SMP Zea tidak pernah kerja kelompok di rumah teman karena selama ini, tugas kelompok Zea selalu dikerjakan di sekolah.

Gadis itu mengenakan kaus hitam yang bahannya lebih mirip sweater. Zehan yang tengah sarapan pukul 9 bosan melihat penampilan itu terus-terusan.

"Lo gak ada baju lain apa? Gak ada warna cerah, gitu?"

Zea memicing, meminum susu kotaknya. "Jangan ngejek, deh."

"Abis suram banget item-item."

"Beda. Kulitku item. Kalau pake baju cerah, berpadu dengan kulit, entar kayak K*piko. Aku enggak kayak kamu tuh yang bebas bisa warna apa aja."

would you like to share it with me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang