Jisoo

59 5 0
                                    

Joy menyodorkan sendok yang berisi makanan buatannya ke mulut sang kekasih, Seokjin. "Lezat, bukan?"

Jin mengangguk mengiyakan. "Tapi lebih lezat bila--"

"Apa kalian sedang menjalin hubungan?" Jimin melontarkan pertanyaan sembari datang dan menatap mereka curiga.

"Huh, darimananya?"

"Jangan asal berbicara."

"Santai saja. Kenapa kalian menjadi tegang seperti itu? Lagipula, aku bercanda." ucap Jimin tersenyum.

"Hei, kalian tidak ingin lihat Suho Oppa latihan?" suara Yeri yang menggema membuat mereka bertiga menoleh.

"Memangnya kenapa?" ucap Joy tak peduli.

Yeri datang lalu menarik tangan Joy untuk berjalan menuju ruang latihan diikuti oleh dua pria lainnya.
"Kau akan terpesona dengan  kehebatannya. Uh, bangganya diriku menjadi adiknya."

Sesampainya mereka di ruang latihan, Yeri melepaskan tangannya dari Joy dan berjalan meninggalkan mereka. Begitu pula dengan Jimin dan Jin. Joy pun mendekati Irene dan duduk di sebelahnya.

"Unnie, apa spesial nya melihat dia latihan?"

"Aku juga tak tau."

Suara kaguman yang terdengar membuat Irene dan Joy menatap Suho kembali.
Tidak ada satupun tembakan yang meleset. Semuanya tepat sasaran.
Pantas saja Yeri membanggakannya.

"Bagaimana bisa? Ah, aku harus berlatih padanya." kagum Joy.

"Tidak akan pernah terjadi." Wendy datang menghampiri Joy dan Irene. Mereka menoleh dan menatap dengan pandangan bertanya.

"Tidak ada seorangpun yang dapat diajari oleh Suho Oppa. Seperti biasa, kalian pasti diajari oleh Sehun."

"Bagaimana jika aku berhasil diajari olehnya?" tanya Irene asal. Wendy tersenyum. "Tandanya kau spesial dimatanya."

Mendengar jawaban Wendy, Irene hanya dapat tertawa sumbang dan mengalihkan atensinya ke Suho kembali.

Wendy masih terus menatap Irene. Ia menjadi teringat akan masa lalunya dimana ia bertemu dengan malaikat kecil yang menolongnya.

Seorang anak perempuan duduk di pinggir jalan. Ia kelaparan. Sudah hampir dua hari lamanya ia tidak mendapat asupan gizi. Ditambah dengan teriknya panas matahari di siang hari dan dinginnya udara di malam hari.

Son Seungwan.

Nama yang indah tapi tidak dengan nasibnya. Gadis berumur belasan tahun yang tidak tau siapa orangtuanya dan hidup di dalam panti asuhan.

Menyesal? Pasti

Ia sungguh menyesal karena kabur dari panti asuhan yang telah merawatnya hanya dengan sebuah alasan sepele.

"Aku ingin keluar dan mencari orangtua ku."

Sekarang, ia duduk di pinggir jalan menatap langit yang dipenuhi bintang. Orangtua? Cih. Ia tidak akan lagi mencari siapa orangtuanya.

"Hei."
Lamunan Seungwan terhenti karena seorang wanita memanggilnya.

Cantik sekali.

"Kau tersesat ya? Dimana orangtua mu?"

Seungwan hanya menggeleng.
"Kau ingat rumah mu kan. Aku antar ke rumah mu ya. Ayo." ajak wanita tersebut.

"Rumah?" tanya Seungwan pelan.

Wanita di hadapan Seungwan mengangguk.
"Aku tidak tau rumahku dimana."

"Orangtua mu?"

Lagi-lagi orangtua. Bisa tidak jangan selalu menyangkut pautkan dengan kata-kata orangtua.

"Aku tak punya orangtua."

Raut wajah wanita di hadapannya berubah sedih. "Kalau boleh tau, namamu siapa?"

Seungwan menatap sebuah tangan yang dijulurkan oleh wanita dihadapannya.

Seungwan membalasnya dan berkata, "Son Seungwan."

"Aku Kim Jisoo."

"Hei, kenapa melamun?"

Wendy terlonjak kaget. Ia menatap Joy yang sudah berdiri di hadapannya.

"Kau ingin melihat siapa lagi?" tanya Joy. Setelahnya Wendy melihat sekelilingnya. "Sudah selesai ternyata." Wendy pun beranjak bangun dan berjalan beriringan dengan Joy.

Tanpa sadar, Joy menghampiri Seokjin dan meninggalkan Wendy.
Sangat diyakini oleh Wendy bahwa mereka sedang menjalin hubungan. Ingin hubungan mereka tak ketahuan tapi sikap mereka tak bisa disembunyikan.

"Noona." Wendy menoleh.

"Eoh, Sehun. Ada apa?"

"Jangan lupa minum obatmu. Nanti kau mati lagi."

Wendy hanya tersenyum tipis. Ia pun tertawa kecil dan meninggalkan Sehun lalu berjalan menuju kamarnya. Tidak ada rasa marah sedikitpun saat Sehun berkata seperti itu.

"Kuharap Suho segera memaafkanmu, Noona. Jisoo Noona, peringatkan Suho Hyung agar Ia memaafkan Wendy." batin Sehun.

***


"Kau kenapa?" Seulgi sedang bersantai ria setelah dirinya selesai latihan yang sangat menguras energinya. Namun, Jimin datang dengan keadaan wajah babak belur dan mengganggu dirinya.

"Kenapa ia menjadi makin tampan. Aish." batin Seulgi.

"Tidak. Hanya kejadian kecil." Jimin pun langsung duduk di sofa tepat samping Seulgi. Ia menyandarkan kepalanya di sofa.

Seulgi pun beranjak meninggalkan Jimin. "Kau akan meninggalkan aku?" Tidakkah kau ingin mengobati luka ku?"

Seulgi hanya berjalan tanpa menjawab pertanyaan Jimin. Selang beberapa menit, Seulgi datang membawa obat merah dan juga alat lainnya untuk membersihkan luka Jimin.

Jimin tersenyum melihat perhatian yang Seulgi berikan untuk dirinya.
Dengan telaten, Seulgi mengobati Jimin.

"Pernahkah kau berpacaran?"

"Belum pernah."

"Kau ingin menjadi pacarku tidak?"

Refleks, Seulgi menekan luka Jimin.
"Aw, sakit. Kau sengaja, ya?" Jimin pun menahan tangan Seulgi yang ada di wajahnya.

"Aku terkejut. Lepaskan tanganmu." Seulgi ingin menarik tangannya kembali namun telat,

Jimin sudah lebih dulu menarik tangan Seulgi sehingga tubuh Seulgi jatuh tepat di dada Jimin. Wajah mereka sangat berdekatan satu sama lain. Sesaat, manik mata mereka hanya saling pandang hingga--

"Lepaskan." Seulgi menarik tangannya kasar.

"Kau belum menjawab pertanyaanku."

"Pertanyaan apa?"

"Kau ingin menjadi pacarku tidak?"

Seulgi mendelik kesal. "Sudahlah, jangan bercanda. Luka mu sudah ku obati."

"Aku tidak bercanda.Jika kau menolakku sekarang, tak apa. Lagipula, masih banyak kesempatan lainnya untuk mendapatkanmu."

"Dan aku tak memberikan kesempatan itu padamu."

"Ah, benarkah. Akan kupastikan kau tarik ucapanmu kembali, Seulbear." ucap Jimin sambil mengerlikan matanya.

"Haish, bisa gila aku. Kenapa manis sekali?"

Bona FideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang