Tugas

172 31 0
                                    

Arata berjalan bolak-balik di depan ruang perbaikan. Gelisah. Tangannya tak dapat berhenti bergetar. Yagen yang sudah diperbaiki oleh saniwa itu hanya bisa duduk terdiam. Hasebe yang juga ada disana, tak kalah gelisahnya.

Shiroishi keluar dari ruangan itu. Melihat ibunya keluar, Arata langsung menghampirinya. Shiroishi menatap anaknya itu dengan wajah pilu.

"Ibu… bagaimana Bibi?"

Shiroishi menggeleng. Ia melirik ke dalam. "Lukanya sangat dalam, dia kehabisan banyak darah. Sekarang ini dia dalam keadaan koma, dan aku tidak tahu kapan dia akan bangun," ujar Shiroishi.

"Jendral… koma…?"

"Sayangnya, iya, Yagen," ujar Shiroishi. "Dokter sudah berusaha sebisanya. Kini kita harus berdoa agar Akari cepat bangun," lanjutnya, menepuk pundak Yagen dan Arata.

"Lalu, Arata. Soal tugas saniwa." Shiroishi menatap anak semata wayangnya itu dengan air muka serius. "Akan dipegang sepenuhnya olehmu."

Arata terbeliak. "T… tapi, Bu."

"Tenanglah. Aku juga ditunjuk untuk menemanimu disini sampai Akari bangun. Bagaimana pun juga aku yang harus mengawasi kesehatannya," ujar Shiroishi. "Kita akan bekerja sama lagi untuk sementara waktu, Yagen, Hasebe."

Hasebe mengangguk. "Baiklah. Akan kuumumkan pada yang lainnya," ucapnya, membungkuk.

Tim perawat dari pemerintahan keluar dari ruang perbaikan membawa Akari pergi dari sana. "Tidak ada yang boleh masuk ke ruangan Akari sembarangan. Dalam keadaannya saat ini, dia benar-benar dalam keadaan hidup atau mati," jelas Shiroishi, menatap tubuh Akari yang berlalu. Yagen dan Hasebe menunduk lalu mengangguk.

"Kalau begitu, aku akan kembali mengerjakan pekerjaanku, Tuan Shiroishi, Tuan Arata," ujar Hasebe, pergi dengan masih menunduk.

Yagen tampak lesu. Melihat wajah pedang itu, Arata menepuk pundaknya.

"BIbi Akari pasti akan segera sadarkan diri. Dia tidak mungkin meninggalkan kita," hiburnya. Yagen menatap saniwa muda itu lalu tersenyum pilu.

"Ya. Aku tahu, Arata. Tidak, maksudku, Jendral."

"Aku lebih suka dipanggil Arata ketimbang Jendral. Aku bukan pemilik benteng ini. Benteng ini tetap milik Bibi Akari," ujarnya.

Yagen menghela napas. "Kurasa kau benar. Tapi tetap, kau adalah saniwa sementara sekarang. Kau tuanku sekarang, Jendral," tutur Yagen lesu, memegang tangan Arata.

"Yagen…."

"Kalau begitu, Jendral, aku pamit untuk membantu Shinano mengerjakan laporan." Yagen melepaskan pegangan Arata di bahunya, lalu berjalan pergi. Arata melihat pedang itu dengan iba.

Shiroishi merangkul saniwa muda itu. "Mereka bukan pedang-pedang yang mudah goyah," ucapnya.

Arata menatap ibunya. "Ibu, aku punya permintaan."

Shiroishi menatap Arata dengan heran. "Permintaan? Permintaan apa?"

"Ajari aku jadi saniwa yang baik dan kuat. Untuk melindungi Bibi Akari dan benteng ini," pintanya. Shiroishi terbeliak. Namun kemudian pandangannya melunak pada anaknya itu. Ia tersenyum.

"Asal kau tahu, pelatihan dari Ibu akan sangat berat. Kau akan kulatih sekeras aku melatih Akari dulu, kau mengerti?"

Arata mengangguk. "Apapun, demi melindungi Bibi Akari."

Shiroishi tersenyum lagi. "Tapi sebelum itu, ada yang harus Ibu beritahukan padamu," ujarnya. Shiroishi, masih merangkul Arata, menggiringnya menuju dojo.

Black Citadel: Government's OrderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang