Smile

23 2 0
                                    

Ibu masih sama seperti biasanya, duduk di sudut ruangan, di kursi goyang yang usianya tentu melebihi usianya sendiri sambil menekuni benang tenunan dalam diamnya yang amat sangat lama. Sudah berpuluh-puluh tahun rasanya sejak terakhir ia berbicara padaku, tepatnya mungkin 10 tahun yang lalu, tepat ketika suaminya, yaitu ayahku, dipanggil untuk berpulang kepada yang maha kuasa.

Pernahkah kalian merasa bahwa rumah yang kalian singgahi tak lagi terasa sama seperti biasanya, ketika derai tawa serta kehangatan berubah dalam semalam, sebuah kejadian yang tentu bisa kita sebut sebagai musibah yang karenanya merubah keseluruhan dunia serta hidupmu ke arah yang jauh lebih buruk.

Malam-malam tak lagi hangat dan semakin hari berganti, keheningan nan memilukan ini terasa mengganggu. Bukan berarti aku adalah anak yang tak bertanggung jawab dan durhaka, hanya saja segala yang terjadi bukan kehendak serta keinginanku, serta diamnya ibu yang terasa menyiksaku. Satu-satunya yang ia ajak bicara hanya peralatan tenun usang yang hampir lebih dari 10 tahun pula telah menemaninya dalam sesi-sesi diamnya yang memuakkan.

Sudah beribu macam cara kulakukan untuk setidaknya membuatnya tersenyum kepadaku, senyumnya yang hangat, senyumnya yang kurindukan. Rumah tak pernah lagi terasa seperti rumah, hanya bangunan kosong dengan kesan suram serta dinding-dindingnya yang mulai berjamur karena tak pernah lagi dirawat dengan kehangatan yang pada umumnya ada di seluruh rumah di sepanjang jalan. Muak? Tentu saja.

Terkadang pada malam-malamku seperti malam ini, ketika tulisan ini dibuat misalnya, aku kerap kali bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi pada Ibu yang dahulu selalu terbangun jauh lebih pagi demi membuatkan makanan untuk kami, atau apa yang terjadi pada Ibu yang tak pernah mengeluh ketika harus mengajari anaknya bagaimana menyelesaikan perkalian dua kali dua hampir semalam suntuk, atau apa yang terjadi pada ibu yang selalu mengantar anaknya masuk ke sekolah dasar dengan senyuman serta doa agar anaknya belajar dengan baik dan menghormati guru-gurunya. Kemana ia? Rindukah ia padaku seperti aku merindukannya pada malam-malam dinginku di entah telah berapa purnama kini.

Mungkin aku adalah penyebabnya, mungkin aku adalah segala yang membuatnya tak pernah lagi merasakan kenyamanan di hunian kami. Ketika kuingat-ingat lagi, memang aku nampaknya yang menjadikannya demikian. Andai saja rengekanku waktu itu tidak di iya-kan oleh Ayah mungkin ia masih berada disini bersama kami saat ini, andai saja waktu itu sebuah mainan di lemari pajangan toko itu tak menarik perhatianku dan membuatku ingin kembali kesana untuk membelinya hingga kecelakaan itu tak perlu terjadi dan merenggut nyawa Ayah, laki-laki yang selama ini selalu menemaninya. Andai saja.

***

Tali itu sudah terpasang erat di rangka-rangka rumah, lebih tepatnya dilangit-langitnya. Tergantung cukup tinggi dengan simpul mati yang cukup untuk mengikat leherku ketika kursi yang menopang tubuhku tersepak hingga akhirnya membuat nafasku tercekat dan seketika menghentikan aliran darahku di bagian leher, rasanya telah cukup. Aku menendang kursi itu hingga menimbulkan suara terbanting yang cukup keras yang membuat Ibu seketika membuka pintu kamarnya dengan terburu-buru untuk melihat apa yang terjadi, dan ketika matanya menatap ke arahku yang tergantung di tengah-tengah ruangan sebelum kesadaranku menghilang seluruhnya, untuk terakhir kalinya kulihat lagi ia tersenyum. Akhirnya aku melihatnya tersenyum lagi.

SCARECROWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang