M(a)rry Chrismast

13 1 0
                                    

LONDON, 1989


Angin berhembus membawa udara kering yang justru semakin membuat malam pertama musim dingin di London semakin dingin. Mungkin bagaimana sebelumnya musim gugur meruntuhkan tiap keping daun dan bunga di tiap-tiap taman di sudut-sudut Norwich adalah mengapa kini udara kering berhembus dari arah Utara dan membuat siapapun yang berjalan di sekitaran jalan-jalan ramai, berbondong-bondong merapatkan mantel musim dingin mereka.

Rave baru saja selesai dari lemburnya yang entah sudah berapa puluh kali di kantor penerbitan koran di pinggiran London Brige, posisinya langsung menghadap ke arah Sungai Thames yang sudah terkenal itu meski pada musim-musim dengan udara dibawah 16 derajat kini Sungai Thames sama sekali tak menunjukkan keramahannya seperti pada musim-musim lainnya.

Rave mengunci pintu kantor dan bergegas pulang, sekarang sudah pukul sepuluh lebih sepuluh menit dan orang-orang lebih memilih berkumpul bersama keluarga mereka di depan penghangat ruangan dengan ditemani secangkir coklat panas daripada berjalan-jalan di sekitar kota atau menikmati bagaimana indahnya kota London pada malam hari, mungkin hanya Rave saja yang tetap bekerja di musim sedingin ini. Ia melangkahkan kakinya secepat mungkin, yang ia inginkan hanya kasurnya yang hangat di kompartemennya, meski induk semangnya adalah seorang perempuan tua menyebalkan yang selalu menagih biaya sewa dengan ketus, tetapi agaknya ia jauh lebih memilih menemui perempuan tua itu daripada mati membeku di malam sedingin ini.

Disisi lain, Rave juga kesal dengan boss di tempat ia bekerja, mengapa hanya ia yang diberikan pekerjaan bejibun sedangkan dirinya sendiri justru hanya datang dan ongkang-ongkang di kantornya sambil menunggu jam kerjanya sendiri selesai, benar-benar memuakkan. Bagaimana asap mengepul dari mulutnya kini juga terasa menyebalkan baginya di malam yang sepi dan muram ini.

Tiba-tiba dalam gerutuannya sendiri, ekor matanya tak sengaja menatap sebuah toko yang masih buka di sepinya jalanan kota London. Sebuah Toko Roti yang menjual berbagai macam jenis kue, mulai dari kue ulang tahun dengan berbagai macam pernak-pernik yang menghiasinya hingga berkeping-keping Pretzel yang terlihat hangat atau hanya sekeranjang penuh roti Baguette yang membosankan. Toko Roti ini entah mengapa masih buka dijalanan kota London yang sepi ini, meski begitu Rave seperti tertarik untuk masuk ke dalam dan mencicipi salah satu roti-roti itu dan membawanya pulang.

Bunyi denting berbunyi bersamaan dengan terbukanya pintu toko, membangunkan si pemilik yang sepertinya tertidur karena sepanjang hari sama sekali tak ada yang mampir ke toko tersebut, selain pengemis yang meminta sebuah muffin secara cuma-cuma atau sepasang suami istri yang membeli sebuah kue ulang tahun lengkap dengan lilin bernomer delapan untuk anak mereka yang akan berulang tahun keesokan harinya. Wanita berambut pirang berpotongan pendek lengkap dengan celemeknya yang penuh dengan noda tepung disana sini itu tersentak dari tidurnya ketika Rave masuk. Ia buru-buru membenarkan posisi duduknya dan sedikit merapikan rambutnya yang berantakan untuk segera menyapa Rave yang sedang melihat-lihat rak-rak berisikan roti-roti kering dengan senyuman hangat.

“Ada yang bisa saya bantu Tuan?”. Ujar wanita itu ramah.

Rave sedikit tak memperhatikannya karena sibuk memilih-milih tiga Muffin dan mengambil lima kue Pretzel untuk ia nikmati nanti dengan secangkir hangat kopi di kompartemennya. Wanita itu tak henti-hentinya menatap Rave dengan pandangan seramah mungkin dan berusaha terjaga dari kantuknya yang sedari tadi membuatnya menguap berkali-kali. Rave selesai memilih-milih dan berjalan menuju meja kasir, tempat dimana wanita berambut pirang itu menunggunya dengan senyuman sehangat mungkin.

Rave membalas senyuman ramah itu dan mulai mengeluarkan dompet di tas kantornya yang berwarna coklat kusam. Wanita itu mengambil kalkulator dan menghitung apa-apa saja yang Rave beli dengan cekatan, “15 Dollar untuk Tuan yang kesepian”, ucapnya setengah terkekeh.

Rave tertegun beberapa saat dan menatap wanita itu dengan seksama. Merasa diperhatikan dengan tatapan tajam, wanita itu segera memasukkan roti-roti Rave dan meminta maaf, “M-maaf, aku hanya bercanda”, ucapnya tak berani balas menatap mata lelaki di hadapannya.

SCARECROWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang