#3

72 44 34
                                    

16.40 WIB

Di dalam mobil, aku mendengarkan lagu kesukaanku. Clair de Lune - Claude Debussy. Lagu lama memang. Itu adalah lagu kesukaan ibuku. Ya, dia bisa bermain piano. Akan tetapi, mungkin bakatnya itu tidak menurun kepadaku. Tak hanya bermain piano, bahkan bermain catur, dan beberapa jenis olahraga saja aku tidak bisa.

Dan ayahku, dia juga memiliki bakat seperti ibuku. Hanya saja, ketika mereka bermain catur, ayahku selalu kalah. Entah ibuku yang sangat berbakat, atau ayahku yang sengaja selalu mengalah. Mungkin, aku akan pilih option yang pertama.

Selama perjalanan, aku melewati beberapa tikungan yang berada di bukit yang penuh dengan pohon pinus. Pohon favorite-ku. Udara terasa sedikit dingin. Kuputuskan untuk mematikan AC di mobil.

Krukk

Oh, tidak. Perutku keroncongan. Mungkin aku harus membeli makanan. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak kepadaku. Kulihat ada seorang penjual siomay di depan sana.

Ah, makanan itu. Membuatku teringat kejadian saat itu.

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Pagi ini sangat cerah, matahari bersinar dengan terang. Hari yang menyenangkan. Namun, hal itu tidak berlaku untuk mereka. Bryan, Gibran, dan Jordan. Ya, mereka semua bangun kesiangan karena perang bantal semalam. Tak hanya itu, mereka bahkan lupa mengerjakan semua pr hari ini. Tidak belajar.

Alhasil mereka sekarang harus menjemur tubuh mereka di depan tiang bendera merah putih.

"Gara-gara lo nih, Yan. Kita jadi dihukum," kata Jordan.

"Enak aja kata gue. Lo tuh yang pertama lempar tuh bantal," elak Bryan.

"Heh, yang lempar pertama tuh Gibran," tunjuk Jordan.

"Tapi lo yang bikin acara lempar-lempar bantal," kata Gibran tak terima.

"Tapi kan elo yang pertama lempar ke kepala gue,"

"Itu sih salah lo ya. Kan lo yang teriak-teriak, nyet,"

"Lah kan gue teriak juga gara-gara lo curhat semalem,"

"Ssttt...berisik lo pada. Noh, diliatin pak Slamet," kata Bryan menengahi.

Terlihat di ujung lapangan seorang guru berkumis tebal dan berkepala botak sedang berkacak pinggang memperhatikan mereka. Perutnya buncit. Tak lupa sebuah tongkat sakti yang panjang di tangan kanannya.

"Hareudang, hareudang, hareudang~" nyanyi Jordan.

"Panas, panas, panas~" lanjut Gibran.

"Gila lo pada," geli Bryan.

"Lagian panas, bosque. Istirahatnya kapan sih?!" kata Jordan.

"Nanti," jawab Gibran.

"Iya nanti. Entah kapan itu," lanjut Bryan yang disambut oleh tawa mereka.

Siang ini, keadaan kantin sekolah sangat ramai. Tak hanya untuk makan, mereka juga ada yang mengerjakan tugas atau hanya sekedar berkumpul dengan temannya yang mungkin berbeda kelas.

Seperti halnya dengan Risya, Nayfa, dan Farel. Mereka tengah menunggu pesanan siomay mereka. Sesekali tertawa bersama karena lelucon Farel. Tidak lucu sebenarnya. Namun, apa salahnya tertawa karena lelucon yang garing. Tak lama kemudian, makanan mereka pun datang.

I SeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang