Suara petir begitu menggelegar. Cahaya kilat masuk melalui jendela kamar. Aku jijik dengan diri ini. Hanya bisa menjerit sakit.
Tangisku baginya hanya melodi, bagaikan rintihan penuh kenikmatan yang dia beri dan aku rasa. Dia menerjang, bagaikan singa yang baru saja menemukan santapannya. Tak peduli dengan apa yang aku rasakan.
Kembali, malam ini, dia menodaiku untuk kedua kalinya. Dia memperlakukanku bagaikan jalang yang siap sedia, dia gauli. Aku benci nasib ini! Nasib yang membawaku pada jurang kehancuran.
Mahkota suci bagi seorang gadis harus terenggut dengan biadabnya Bapak Kandung. Masih pantaskah dia kusebut Bapak? Masih pantaskah dia menjadi panutan bagi seorang anak perempuan?
Kata orang, Bapak adalah cinta pertama anak perempuannya. Akan tetapi, apakah ini yang dimaksud cinta? Apakah dengan menyalurkan nafsunya itu cinta?
"Jangan nangis!" perintahnya sambil menutupi tubuh polos ini.
"Kenapa Bapak lakukan ini padaku? Kenapa Bapak jahat?" lirihku dengan terisak.
Kupunggungi Bapak. Dia masih saja membelai rambut, seakan setan dalam dirinya tak pernah bisa puas menjelajahi seluruh tubuh.
"Jangan menangis, Sayang. Kamu itu harusnya beruntung Bapak ajarkan hubungan suami istri, sebelum kamu menikah," ujarnya." Jangan munafik, Putri!" lanjutnya lagi.
Dia bangkit, lalu meninggalkanku sendiri di sini.
Manusia durjana itu telah merenggut semua dari hidupku. Aku bisa apa? Setiap kali berontak, tak segan pukulan aku dapatkan. Dia juga tak takut ketika aku berusaha berteriak meminta bantuan. Dia mengancam akan menyebarkan vidio panas itu, atau dia akan menumpahkan kekesalan pada Ibu yang lumpuh.
Aku bisa apa? Bunuh diri? Jika aku mati siapa yang akan menjaga Ibu? Siapa yang akan sudi merawatnya? Membantu mengambilkan air wudu untuk menyembah Tuhannya.
.
Setiap kali kupejamkan mata, mimpi buruk itu seakan terulang lagi. Memimpikan Kakak yang bernasib sama sepertiku. Dulu aku bodoh. Tidak berusaha menolongnya, saat nyawanya terenggut di tangan Bapak.Semuanya masih membekas dalam ingatan. Termasuk, kematian Kakak yang disebut hamil di luar nikah.
Suara panggilan azan terdengar di seluruh surau, begitu pun kokok ayam membuatku terjaga. Lampu kamar yang temaram membuatku harus membiasakan diri dengan keadaan. Kulihat kamar yang lebih mirip seperti kapal pecah tak berpenghuni.
Bajuku terserak di lantai kayu, aroma birahi masih tercium di kamar ini. Segera aku bangkit, untuk membersihkan diri.
Hawa dingin begitu terasa dari air yang mengenai kulit. Seakan memberi rasa sejuk bagi diri yang panas oleh amarah.
Aku memeluk tubuh, wajah kubenamkan di lutut, meratapi nasib yang mempermainkan diri sendiri. Pada siapa aku mengadu? Mengadukan nasib yang semakin tak membuatku beruntung.
Andai saja, sabun bisa menyucikan. Jika saja, air dapat mengembalikan semua yang terenggut, aku akan lebih rela berendam selamanya. Namun, semuanya tidak bisa.
Mata terlihat begitu sembab efek menangis semalaman. Memikirkan jalan hidup yang berliku, tak memberiku kata indah dan bahagia.
Kupandangi tubuh ini di cermin. Kata orang, aku adalah Kembang Desa. akan tetapi, kini aku telah terhisap kumbang sebelum waktu yang tepat.
Bekas merah masih terlihat di leher dan bagian dada. Pipi masih terasa linu karena ulah Bapak yang tak segan melayangkan pukulan. Sudikah seseorang menerima nasibku ini?
Pagi ini, sarapan telah tersedia di atas meja. Bapak terus memerhatikanku dengan seksama. "Putri, sekali-kali buatkan Bapak obat kuat," ujarnya tangannya menarik pinggangku.
"Maksud Bapak, apa?"
"Siapkan malam ini kuning telur dan madu," bisikknya. "Kamu seperti ini masih terlihat seksi," lanjutnya lagi dengan pandangan mesum.
"Pak, lepas! Putri mohon, jangan seperti ini! Bapak itu, Bapak Kandung Putri. Harusnya melindungi bukan seperti ini." Dengan bergetar kalimat itu keluar dari bibir.
"Diam Kamu! Bapak tak mau mendengar apa pun. Kamu itu, Bapak jadikan bahan syahwat menggantikan tugas ibumu yang lumpuh itu. Jangan berani macam-macam! atau nasib ibumu sama seperti kakakmu!" bisik Bapak sambil mencengkram pinggang ini.
"Pak, lepas! Sakit ...."
"Sekali-kali buat bapakmu ini senang, layani Bapak dengan layak. Kamu itu masih muda, masih segar-segarnya. Ya sudah, Putri, Bapak pergi dulu. Urus ibumu itu," titahnya lalu meninggalkan aku di sini.
"Put ...." Terdengar dari dalam kamar Ibu memanggilku. Segera kuhapus derai air mata ini. Aku tak boleh memperlihatkan kesedihan ini pada Ibu.
Aku tak mau terus membebani pikirannya, menjadi beban dalam hidupnya. Cukuplah semua kesakitan dulu ia alami karena kehilangan Kakak. Tak tega rasanya, jika melihat tubuh renta itu menangis. Memikirkan nasib yang malang pada anak yang telah ia lahirkan dan urus secara penuh kasih sayang.
"Iya, Bu. Ibu, panggil Putri?" tanyaku sambil membantunya duduk.
"Put ...." ujarnya.
"Ibu mau apa? Mau ambil wudu?" tanyaku memastikan, dan beliau langsung mengangguk.
Ibu, setelah Tuhan memberikan cobaan padamu, dengan kehilangan anak, lalu dengan penyakit lumpuh dan tak bisa bicara. Ibu masih saja memuji Tuhan, seakan percaya semua duka itu akan berlalu.
Kucoba membantu beliau mengambilkan air wudu, lepas itu memakaikannya mukena.
Air mata ini kembali berderai, melihat khusyunya Ibu dalam beribadah. Sedangkan aku, untuk ibadah pun tak pernah kulakukan. Apa nasibku kini adalah bentuk teguran dari Tuhan untukku?
Kupandangi Ibu dengan lekat, tanpa sadar beliau telah selesai salat. Kulihat bahunya bergetar, aku tahu Ibu pasti menangis. Tangan yang biasa ditadahkan ke atas, kini tak berfungsi lagi. Aku tahu kegundahan itu.
Kudekati beliau lalu memeluknya dari belakang.
"Jangan memangis, Ibu. Tangismu begitu berharga, Tuhan tahu dan Maha Melihat semua ini. Mungkin, ini bisa jadi wasilah untuk Ibu mendapatkan surga-Nya." Kupeluk ia dengan erat.Suara salam terdengar dari luar, segera kulepas pelukan dan bergegas melihat siapa yang datang.
Tepat saat kubuka pintu, sosok lelaki tersenyum, di tangannya tergenggam keresek hitam.
"Iya, ada apa, Randa?"
"Putri, kamu menangis lagi?" tanya Adi penuh selidik."A ...." Belum saja aku bicara, "Dasar anak tak tahu diri! Tak punya rasa malu! Malah pacaran di depan rumah. Hey, kamu Randa, jauhi anak saya. Dia tak pantas menjadi pendamping kamu!" seru Bapak mendorong Adi.
"Pak, maaf, ini tak seperti yang Bapak kira. Saya ke sini hanya untuk menjenguk Ibu dan memeriksa keadaan beliau," ujar Adi.
"Dia tidak butuh bantuan kamu! Aku bisa merawatnya. Putri, masuk!" perintah Bapak dengan tegas.
Aku tak ingin mencipta keributan lagi, biarlah ini menjadi bebanku saja.
Entah apa yang Bapak bicarakan dengan Randa. Aku semakin was-was, pikiran buruk pun menggelayuti. Bagaimana jika Bapak bicara soal aku? Bagaimana jika Bapak memperlihatkan isi vidio itu? Lantas apa tanggapan Randa nantinya setelah tahu semuanya?
"Pak, apa yang Bapak bicarakan dengan Randa?" tanyaku langsung, ketika Bapak masuk ke dalam rumah.
"Bapak, membicarakan hal yang seharusnya laki-laki itu tahu," jawab Bapak dengan santai.
"Pak, kenapa Bapak tega. Kenapa Bapak lakuin ini sama Putri? Aku putrimu Pak. Kenapa Bapak begitu jahat. Bunuh saja aku Pak bunuh!" ujarku penuh amarah.
Ya nasib, kenapa jadi begini? Dosa apa aku terlahir ke dunia ini?
#Cerita ini akan saya jadikan novel. Yang mau pesan bisa dari sekarang, nanti kalau sudah open PO saya kabari. Bagaimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapa Nasabnya? (Randa dan Putri)
Adventuretentang seorang gadis bernama Putri yang mendapatkan kekerasan dari sang Ayah. Hingga Randa datang dalam hidupnya dan merubah segala hal dalam hidup Putri