Delapan

189 20 6
                                    

."Neng, kamu kenapa?" tanyanya.
"Bu, apa bisa saya minta tolong." Kutatap wanita tua itu dengan lekat, netra kami beradu beberapa saat, setelah itu kutundukkan pandangan. Apa tak apa menjadikan seorang perempuan tua terjerat dalam dosaku?
"Minta tolong apa, Neng?" tanyanya sambil kembali meraba perut rataku.
"Aku tak ingin bayi ini. Bisakah membantuku menggugurkannya?"
   Wanita tua itu terlihat membelakkan mata terkejutnya, wajahnya yang kriput tampak menahan shock mendengar permintaanku.
   "Istigfar, Neng. Jangan mudah terbawa nafsu," ujarnya.
"Tapi aku tak mau mengandung. Ini aib." Kali ini tangisku kembali pecah di hadapan orang lain, dia pasti merasakan kegelisahanku, dia juga seorang ibu pastinya.
Dia membantuku duduk dan langsung memeluk tubuh ini, kudengar beliau pun menangis. "Jangan berbuat seperti itu, Neng. Semua orang pasti punya salah, tapi bayi dalam kandunganmu tak punya salah. Meski hadirnya secara salah." Itu yang kudengar darinya.
  "Setiap perempuan memiliki kodratnya menjadi seorang ibu, jangan gegabah," petuahnya sambil melepas pelukanku.
"Sudah yah, jangan terlalu dipikirkan.  Menggugurkan bayi itu tak baik," ujarnya lantas pergi meninggalkanku sendiri.
   Aku membenci adanya bayi dalam rahimku, aku telah mengharamkan ia tinggal dalam perutku. Aku mohon ambil saja kembali Tuhan.
Beberapa saat kemudian, Randa datang menemuiku, dia duduk di samping kiriku. Aku tak membuka suara begitu pun dia. Aku terlalu malu untuk memulai pembicaraan dan aku yakin, Randa sudah mengetahui kebenarannya.
"Kita menikah saja," ujarnya dengan lantang membuat keterkejutan dalam diriku.
   Mata kami saling pandang lalu kembali kualihkan pandangan.
"Putri, aku tahu ini terlalu tergesa, bisakah kita menikah saja?" tukasnya.
  "Apa kamu sudah gila?" Kupandang lagi Randa, mencari kejujuran dalam binar matanya.
  "Aku tidak gila, makanya aku mengajak menikah."
"Aku tak mau!"
"Putri ...."
  "Jangan kasihani aku terus, semakin seperti ini, aku semakin merasa bersalah. Aku tak mau, biarkan anak ini mati saja sebelum waktunya, aku tak mau mengandungnya."
"Istigfar, Putri!" marah Randa.
"Jika saja istigfar bisa mengembalikan semuanya, aku ...."
"Susah sekali bicara dengan orang keras kepala sepertimu!" desis Randa lalu bangkit dari pembaringan dan pergi ke luar kamar.
Apa dia tak paham menjadi seorang ibu di saat yang tidak tepat bagaimana rasanya? Lebih baik aku pergi saja. Daripada Randa akan bicara seperti itu lagi.
Saat pikiran mengawang entah ke mana, bayangan perempuan berbaju merah itu kembali melintas, aku kembali tersadar, menormalkan detak jantung yang berpacu lebih cepat, bayangan itu bagaikan sesuatu yang menarikku ke dasar. Entahlah, semakin memikirkan itu, seakan bayangan dapat kulihat dengan jelas, ini bukan tentang hantu, tapi pola pikirku ini ada sesuatu, maksudnya orang di balik semua ini yang bertanggung jawab atas kejadian ini.
   Aku harus bicara dengan Randa, dia pasti tahu sesuatu, dengan tergesa aku bangkit dari pembaringan menemuinya di ruang depan.
   Mataku liar mencarinya ke setiap sudut rumah, tak jua kutemui bayangan tubuhnya. Aku kembali meliarkan pandangan. Dapur, satu tempat yang belum aku datangi.
Dengan perlahan kususuri, hingga sampai di lawang dapur. Terlihat Randa tengah meraut sesuatu dengan pisaunya.
Dia sangat fokus, tanpa disadari aku datang dan duduk di sebelahnya.
"Randa, apa kamu marah?"
"Tidak. Itu pilihanmu, aku tak akan memaksa. Sebuah pernikahan tidak harus dengan paksaan," ujarnya lembut dengan kedua tangan sibuk meraut bambu seukuran dua jari tangan.
  "Aku pun demikian, duniaku terlalu ajaib dan misterius. Aku tidak pernah membayangkan akan mengalami nasib seperti ini, lalu di lamar saat keadaan berbadan dua." Kuliarkan mata ke atap rumah, menerawangkan pikiran yang indah nan bahagia.
  "Dunia memang ajaib. Aku memang tidak bisa mengembalikan semuanya, tapi setidaknya aku akan menyambut bayi itu dengan kehidupan yang lebih bahagia," sahutnya.
   Kami kembali terdiam, berbicara terus tak akan lebih baik, menjadi istri pun tak akan merubah segalanya? Mengapa kami terjebak dalam keadaan yang tidak menyenangkan seperti ini.
Suara anjing kembali menggonggong, memberi tanda bahwa perempuan berbaju merah itu akan kembali lagi. Aku takut, hingga tanpa sadar kedua tangan memegang tangan Randa.
Andai tadi aku memilih kabur, bagaimana nasibku nantinya?
  "Hey, kalian cepat masuk ke dalam kamar!" perintah wanita tua itu. Kami segera bangkit lalu mengikutinya dari belakang.
  Keadaan begitu mencekam. Randa memutuskan melihat keadaan dari jendela ruang tamu dan meninggalkan aku bersama wanita tua ini.
  Suara wanita itu semakin terdengar keras. Hingga .... wanita tua yang bersamaku menarik tangaanku kasar lalu menyudutkan ke dinding kamar.
  Rasa nyeri terasa di punggung, aku tak bisa berteriak meminta tolong kepada Randa, karena mulut langsung dibekapnya. Wajah wanita tua itu tampak berubah menakutkan, matanya merah menyala, mulutnya terbuka memperlihatkan gigi taring yang panjang, lalu dia berubah mengerikan, tangannya yang keriput berubah menjadi tulang dan daging yang bergelambir panjang.

#siapa nih yang berasa horor? Atau malah baper?🙈🙈,

Untuk novelnya ranput, kata penerbitnya baru bisa proses bukan Juli nanti, karena sekarang terkendala ISBN yang macet🙏🙏,. Kalau yang mau novelnya cerita ini. Silakan simpan nomor Wa kalian di komentar, biar nanti aku gampang hubunginya🙏🙏

Siapa Nasabnya? (Randa dan Putri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang