sebeleas

183 22 2
                                    

.Malam ini aku tak bisa tertidur, pikiran terus saja bergelayut memikirkan bayi itu. Apa sebegitu mengerikannya nasibku? Ah, aku menyesal telah mengharamkan bayi itu tinggal dalam rahimku. Andai aku mengikhlaskannya, mungkin bayi itu akan berubah menjadi manusia sesungguhnya.
  Randa dan perempuan tua itu sudah tertidur pulas, dan aku masih terjaga. Sepertinya malam sudah semakin larut. Suara langkah kaki terdengar di luar, dari lubang kecil yang ada, aku melihat sekeliling, di luar beberapa orang datang, mereka berpencar.
  "Cari anak itu, dan kalau bisa penggallah kepalanya." Itu suara Bapak, astaga ... Bapak tahu keberadaanku.
  "Randa, bangun ...."
"Randa, bangun!" Beberapa kali aku menggoyangkan bahunya, hingga membuatnya terjaga.
"Ada apa, Putri?" tanya Randa parau.
  "Di luar, ada Bapak. Bagaimana ini? Sepertinya mereka tahu keberadaan kita."
  "Apa?"
"Randa, bagaimana ini?" Aku semakin khawatir.
  "Jangan banyak bunyi. Tarik napas, lalu berdoalah," ujarnya.
  Randa membangunkan wanita tua itu, dia bicara sebentar dengannya. Sebelum pergi, Randa membawa tas miliknya,  lalu kami berjalan melalui pintu belakang,  sangat hati-hati.
  Kami berjalan mengendap, lalu masuk ke dalam kebun pisang milik warga. Dari sini kami bisa melihat para warga sudah berkumpul di depan rumah wanita tua itu.
Randa tidak mengajakku lari, tapi dia malah mengajakku untuk melihat sebuah kejadian tak terduga.
  Di sana, wanita tua itu digerek keluar oleh anak buah Bapak. Semua warga pun keluar rumah untuk menyaksikan yang akan terjadi selanjutnya.
"Di mana kamu menyembunyikan dua manusia itu?" bentak Bapak dengan mencekik wanita itu.
  "Saya kurang tahu, Darto."
"Dasar wanita sialan! Aku tak sebodoh itu, aku tahu kedua manusia itu di sini. Cepat katakan di mana kau sembunyikan mereka?"
   "Jika pun aku tahu, tak akan aku biarkan kamu mengetahuinya, demi apa pun itu. Walau nyawaku     menjadi taruhannya." Wanita itu begitu lantang bicara di hadapan Bapak. Aku menyesal telah menyebutnya Wanita Iblis.
  "Baiklah, itu sebuah pilihan untukmu. Selamat menjemput kematianmu wanita sialan!" hardik Bapak.
"Ucapkan kata-kata terakhirmu, Aeni, ucapkan di hadapanku, sebelum sekarat dan nyawamu terlepas dari ragamu!"
     "Allahu ...  Allahu." Hanya itu yang ia ucapkan.
Bapak tidak menunggu lama, kedua anak buahnya mengerti apa yang harus ia lakukan. Mereka membuat perapian, lalu  Bapak menendang wanita tua itu hingga membuatnya tersungkur. Dengan sebuah tongkat besi yang anak buah Bapak bawa, dia memukul punggungnya.
Wanita itu merintih, air matanya berderai, tapi mulutnya tak berhenti mengucapkan kata Allahu.
   "Jika Allah-mu itu bisa menolongmu, maka dia akan menyelamatkanmu dari api ini," ujar Bapak.
  "Lebih baik kamu katakan, Aeni, agar hidupmu selamat. Masuklah ke aliran yang aku anut," pinta Bapak.
Wanita tua bernama Aeni itu tidak menggubris ucapan Bapak, hingga membuat Bapak murka. Dia menarik wanita tua itu mendekat ke perapian, lalu dengan kaki, Bapak mendorong kepalanya hingga masuk ke perapian.
  Semua yang melihat histeris dengan kejadian ini. Bapak pun langsung membakar rumah itu, dan kulihat, Randa dia menyeka ujung matanya.
  Setelah melakukan keributan, Bapak pun kembali mencurah sesuatu ke tubuh wanita itu lalu melempar obor miliknya.
Aku menyaksikan langsung kebiadaban seorang manusia, tak punya hati. Bahkan, tetangga yang harusnya menolong atau membantu hanya diam saja. Apa sebuah solidaritas memang mati di hati mereka?

#yang mau list novelnya tinggalkan jejak nomor Wa yah.

Siapa Nasabnya? (Randa dan Putri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang