bagian dua

237 25 6
                                    

Aku masih di sini, di gubuk tua, menjalani hari dengan kelam. Sejak kejadian pelecehan oleh Bapak, pergi ke luar pun aku tidak pernah. Aku lebih memilih sembunyi di sini karena takut mereka akan memandangku yang tidak-tidak.

Sudah dua minggu, aku berdiam diri di rumah. Tak lagi kulihat hijaunya perkebunan teh, tak kurasakan lagi sejuknya air sungai, begitu pun tak kurasakan lagi indahnya mengenyam pendidikan. Aku begitu malu untuk sekedar melangkah, bertemu banyak orang pun merasa takut.

Suara anak-anak yang berangkat sekolah terdengar begitu ceria dan semangat. Dunianya terlalu indah untuk sekedar merasakan pahitnya sebuah kejahatan. Mereka beruntung, tak seperti diri ini yang penuh noda, menjijikan!

Kuintip mereka dari balik gorden kamar, teman-teman sebaya pun tampak rapi dengan seragam putih abu-abu. Menyaksikan itu, hati kembali nyeri akan takdir yang terus mempermainkanku.

Aku ingin sekolah. Belajar layaknya anak-anak lain. Namun, mengapa Tuhan begitu tega merenggut semuanya. Merenggut mimpi dan cita-citaku.

Putri isnari, itu nama yang Ibu sematkan padaku. Saat untuk pertama kalinya hadir di dunia tujuh belas tahun lalu.

Sebentar lagi ujian sekolah akan dilakukan. Banyak persiapan yang harus disiapkan untuk menyambut ujian sekolah. Kini, semua bayang-bayang ujian dengan nilai bagus lalu lulus pun hanya angan semata.

Dua hari ini, aku merasa bebas. Sebab Bapak tidak ada di rumah. Katanya dia pergi ke kota untuk menjual hasil panen dari kebun. Baru akan pulang besok malam. Semoga saja dia tak pulang selamanya!

Dosakah, jika aku menginginkan kematian Bapak? Mendoakan hal buruk pada seseorang yang namanya tertulis di kartu keluarga sebagai seorang Ayah, dosakah?

Aku terus mengamati mereka yang pergi sekolah, hingga seseorang mengetuk jendela kamar, kulihat Randa di luar. Dia melempar gulungan kertas, hingga jatuh di tanah, setelah itu dia pergi.

Dengan perasaan was-was kubuka jendela kamar untuk mengambil gulungan kertas itu. Setelah kubuka, sebuah isyarat untuk menemuinya di sungai.

Ada apa? Aku bahkan takut untuk bertemu orang-orang, tetapi maksud Adi apa? Apa perlu menemuinya?

***

Siang hari, selepas matahari tergelincir di titik puncaknya, kuberanikan diri untuk datang menemui pemuda itu di sungai.

Jarak rumah dan sungai hanya memerlukan waktu lima menit perjalanan. Sesampainya di sana, kulihat Randa tengah duduk di atas batu besar. Dia membelakangiku, mungkin dia sedang menikmati pesona sungai yang masih asri dan air yang begitu jernih.

"Randa." Kupanggil dia berulang.

Kemudian dia membalikan badan lalu tersenyum ke arahku. Dia melambaikan tangan pertanda agar aku menghampirinya.

"Ada apa, Randa? Ada apa lagi? Kamu pasti sudah tahu kan semuanya?" tanyaku sembari duduk di sebelahnya.

"Aku tahu semuanya. Aku melihat aib itu, aib yang seharusnya tak aku lihat," lirih Adi.

Aku hanya bisa menunduk malu mendengar penuturannya.

"Kenapa kamu tak bilang, saat aku bertandang ke rumahmu, Putri?" tanya dia.

Kali ini, kuberanikan diri mendongakkan wajah.

"Aku tak bisa. Kamu juga bilang kan itu aib?" luahku dengan tangis yang tak lagi mampu kusembunyikan.

"Jangan menangis. Aku tahu semuanya, ayo ikut bersamaku. Kita adukan nasibmu di kantor polisi, kita adukan nasibmu ini, Putri." Randa menggenggam tanganku.

"Aku tidak bisa. Aku takut."

"Putri, ini bukan masalah malu atau tidaknya. Akan tetapi, masalah kejahatan yang harus dimusnahkan. Bapakmu harus mendapat hukuman, agar tidak ada lagi korban yang lain. Kasus ini kriminal, Putri!"

Entah dari mana Randa tahu semua kejahatan Bapak. Ingin kutanyakan tapi begitu segan.

Pancaran mata Randa menyiratkan sebuah harapan, "Randa aku takut gara-gara aku, kamu kena masalah nantinya. "
"Ini bukan soal takut, Putri. Akan tetapi ini soal kemauan dan tekad, agar kamu bisa bebas dari bapakmu. Aku tahu semua yang bapakmu pertontonkan adalah ulahnya." Rahang Randa terlihat mengeras, ada guratan amarah dalam dirinya ketika mengucapkan kalimat itu.

"Bagaimana dengan Ibu?"

"Ibu kita titipkan di rumah saudaraku dulu," putus Randa.

Kami sama-sama terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing yang entah ke mana alurnya. Apa benar yang aku lakukan ini? Membela harga diri dan juga maru'ah seorang perempuan.

"Putri, perempuan itu tidak boleh lemah. Perempuan itu harus kuat! Melawanlah, agar musuhmu tidak terus menganggapmu tak berdaya. Ayo dengan aku, kita kibarkan kebebasan bagi setiap perempuan, kita lawan pelecehan dan tindak kejahatan bagi setiap perempuan. Kamu mau kan?" tanya Randa.

"Iya. Aku mau."

"Kamu jangan takut. Aku selalu di sampingmu, aku yang akan selalu ada dan melindungimu dalam meminta kebenaran. Ini bukan tentang kamu saja, ini tentang kita dan tentang semua aspek kehidupan."

Tuhan, semoga langkahku sampai pada yang aku tuju. Kali ini aku harus berani, perempuan itu tidak lemah.

Bersambung

#yang mau novelnya, sudah bisa di list dari sekarang, ayo ajak teman-temanmu untuk ngekepin novel ini. Sambil nunggu open PO baiknya nabung dulu yah 😁

Siapa Nasabnya? (Randa dan Putri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang