Sepuluh

185 24 7
                                    

"Bersabarlah, Putri, semua akan segera berakhir." Randa mengelus pucuk kepalaku dengan intens, kulihat ujung matanya berair.
"Fokuskan dirimu,  pejamkan mata, lalu ucapkan dalam hati kalimat Istigfar, aku akan membantumu sebisaku," perintahnya.
   Aku terus melafazkan kalimat itu, dengan tubuh ikut mengejan. Ah, mengapa jarak hamil dan melahirkan begitu cepat. Hanya tiga minggu, ini di luar nalar.
Perut kembali bereaksi seperti ada yang meremas dengan kuat, aku sudah tak kuat lagi menahan sakit ini, hingga pada tarikan napas yang kuat sesuatu seperti keluar dari organ intimku. Entahlah, wanita tua itu menjerit, hingga membuatku membuka mata.
Di tangannya segerombol kelabang berlendir yang terbungkus lapisan putih, entahlah aku tak tahu. Aku pun kembali merasakan sakit di sekujur tubuh, seperti ada yang menggigit setiap incinya, "Putri, kamu harus sadar, baca istifgar." Rana menuntunku membacanya, lalu dia membisikan doa yang tak kutahu itu apa.
   Aku merasakan tubuhku kaku, lalu sesuatu keluar dari organ intim kembali.
"Kita harus bakar semua ini, ini pesugihan juga santet." Sekilas kudengar ucapan wanita tua itu kepada Randa, sebelum semuanya tak kuingat lagi
   Air dingin terasa menerpa kulit wajah, perlahan kubuka mata, aku masih dalam pangkuannya, dia membantuku duduk bersandar pada bilik rumah bambu ini.
   "Minumlah, besok kita akan pulang." Dia menyodorkan minuman beraroma jahe ke arahku.
   Rasa manis dan hangat begitu terasa ketika minuman itu melewati tenggorokan, rasa lemas masih kurasa. "Putri, malam ini kamu harus membakar bayi yang kamu lahirkan," ujar Randa.
"Maksud?"
"Yah, itulah aku bingung menjelaskannya. Namun, semua memang benar adanya begitu, aku curiga ini ulah bapakmu."
   "Aku melahirkan?"
"Benar Putri, dan kita harus segera memusnahkan bayi itu. Ini bukan perkara tak punya hati, tapi takutnya hanya akan membawa ke syirikan orang-orang. Ayo, kita harus membakarnya malam ini juga."
Randa membantuku untuk berdiri, dia memapahku sampai ke ruang dapur. Di sana, wanita tua itu telah menyalakan api, dia tersenyum lalu menyerahkan sebuah obor, "Ini anakmu." Dia mengambil sesuatu dari dalam ember lalu dengan kedua tangannya memangku bayi kecil berukuran sepuluh centi, kaki mungilnya masih bergerak, begitu pun matanya terbuka dengan bola mata merah menyala, di bibir mungilnya terlihat ada dua taring.
   Aku tak menyangka telah melahirkan seorang bayi seperti ini, harusnya tiga minggu itu masih segumpal darah, bukan berbentuk manusia.
   "Putri, bakarlah, agar anak ini tidak menjadi bahan kemusyrikan bagi semua orang," ujarnya sambil kembali menyimpan bayi itu dalam ember.
  Apakah aku tega membunuh anak kandung sendiri, "Putri, ayo. Sebelum anak ini membesar," ujar Randa mengingatkan.
  ''Maafkan aku, Nak. Aku memang telah mengharamkan hadirmu dalam rahimku, tapi melihatmu ada di dunia, aku tak ingin membunuhmu. Namun, aku mohon ampunanmu, karena tak bisa membiarkanmu hidup lebih lama."
  Dengan rasa bersalah menggelayuti pikiran, aku  melempar obor itu ke tungku lalu menumpahkan isi ember itu.
   Randa mengelus punggungku, saat kudengar jerit tangis dari tungku itu, aku pun berpikir ke mana gumpalan kelabang itu?

#Yang mau list novel dari sekarang masih bisa yah.  Yang list baru empat orang. Ayo, siapa lagi yang mau??

Siapa Nasabnya? (Randa dan Putri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang