Bag 10 | Sebeku gunung es

463 79 26
                                    

"I'm Not Yusuf AS." Bag 10 | Sebeku gunung es

***

Coba dong, senyum dulu sebelum baca:) Ehe.

Maaf ya, kemarin mau next tapi keseling sama wisuda anak-anak tk. Kecapean jadinya. Mau ngetik bawaannya ngantuk:(( soooooooo ....

Happy Reading ❤

***

Angin yang berembus, membuat daun dari pohon akasia berguguran. Iqbaal menyandarkan tubuhnya pada batang pohon. Duduk sambil meluruskan kaki di sebelah Kiki. Sementara Bastian sedang melancarkan rutinitas tidak pentingnya--berdiri di depan pagar perbatasan antara asrama perempuan dan kantin umum yang pagarnya dua kali lipat dari 170 cm.

"IYA-IYA AMPUN! SAYA CUMA JAGA-JAGA AJA, KOK! BU USTADZAH CANTIK DEH BU, KALAU NGGAK GALAK."

Iqbaal melepas perhatiannya sejenak dari buku Islam abad klasik karena suara Bastian yang begitu berisik. Di saat yang sama Iqbaal mendengar pekikkan dari sekumpulan perempuan yang mengintip dirinya dari celah pagar. Iqbaal mendengkus. Lalu, menutup bukunya dengan keras. "Bang, gue balik ke kamar duluan."

"Eh, kenapa? Baru juga 30 menit duduk di sini Baal," lerai Kiki.

"Males aja. Gue pengin cari tempat yang adem bukan berisik." Iqbaal menyingkirkan beberapa daun yang terdapat di rambutnya. Membuat rambutnya menjadi berantakkan, namun tetap menawan, tentunya.

"Di sini kan adem Baal. Di bawah pohon. Apa lo masih kepanasan? Gue geser aja kalau gitu, nih." Kiki menepuk-nepuk ruang di sebelah kanannya. Menginterupsi Iqbaal agar duduk kembali.

Sayangnya Iqbaal tetap bersikukuh pada keinginannya untuk pergi. "Gue nggak ngerasa adem sama sekali kalau banyak orang kayak gini." Iqbaal mengendikkan dagunya ke arah pagar asrama perempuan. Mengkode Kiki agar melihat sendiri.

Kiki mengehela napas. "Sorry ya Baal. Gue nggak tahu kalau lo jadinya bakal--"

"Santai aja Bang. Kesalahannya juga ada di gue. Kayaknya gue harus balik kayak dulu lagi." Iqbaal tersenyum tipis. Berkata lembut tanpa ingin membuat Kiki merasa bersalah. "Lagian kayaknya jadi 'dingin' itu karakter yang cocok buat gue," tambah Iqbaal.

"Lo ... puter haluan soal teknik, Baal?"

Iqbaal tidak menyangka kalau Kiki sangat cepat tanggap. Beda lagi dengan Bastian yang kalau diajak bicara harus melakukan pemutaran syaraf otak terlebih dahulu agar terkoneksi. "Mm. Ada baiknya kalau gue nggak mancing lawan jenis buat ... lo tahu sendiri. Gue juga nggak mau jadi bahan perhatian mereka."

Kiki mengangguk, memahami. "Gue dukung keputusan lo selama lo nyaman, Baal. Lo nggak boleh goyah apalagi sampe punya pemikiran buat ninggalin pesantren kayak yang udah-udah. Kita harus lulus bareng-bareng."

Iqbaal terkekeh. "Pasti, Bang."

***

(Namakamu) tertawa kecil. Dia kira momen spirit diskusi bersama Ustadzah Setiana itu akan berlangsung boring atau dipenuhi aksen bahasa Arab yang kental--yang sama sekali tidak dia mengerti. Ternyata, kenyataan tidak seperti apa yang dia bayangkan.

Di posisi mereka yang melingkar ada satu botol minum tanpa air yang diputar. Apabila botol itu berhenti berputar, maka ... Ustadzah Setiana akan menunjuk santriwati untuk bicara sesuai petunjuk ujung tutup botol yang terhenti. Mirip sekali dengan permainan truth or dare yang gamang di kalangan anak muda. Tapi tentu, memiliki sisi yang berlainan di dalamnya.

"(Namakamu)."

"Saya?"

Steffi menyenggol lengan (Namakamu). "Iya ini bagian lo (Namakamu). Jangan ngelamun," bisiknya.

I'm Not Yusuf AS [IqNam Series]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang