Bag 16 [b] | Garis takdir

569 89 32
                                    

"I'm Not Yusuf AS." Bag 16 [b] | Garis takdir

***

"(Namakamu) ...."

"Walau pun aku menyukai kamu. Aku minta tolong Baal ... jangan menyukai aku." (Namakamu) mencengkeram lipatan gamisnya tanpa bisa dilihat oleh Iqbaal. Melampiaskan separuh rasa sakitnya pada pakaian yang dia kenakan. "Tolong ...." Mulut (Namakamu) mungkin baik-baik saja saat berkata demikian. Namun hatinya tidak sama sekali. Hatinya tidak baik-baik saja. Mengatakan hal yang bersinggungan dengan perasaannya sendiri telah menghantarkan rasa sakit yang menjalar pada dadanya, membuat kerongkongannya kian tercekat. Mulutnya menahan getar, agar tangisnya tak terdengar.

"Kamu bercanda kan, (Namakamu)?" Iqbaal menutup buku yang dipegangnya. Menaruhnya di rak semula. Bahkan tanpa merasa repot, Iqbaal menyingkirkan beberapa buku yang menghalangi pandangannya dari (Namakamu). Kini dia bisa lebih jelas melihat wajah (Namakamu). Iqbaal sengaja menatap iris mata (Namakamu) yang meredup. Ingin mencari kesungguhan dari tatapan perempuan itu dan dia ... tidak menemukannya.

"Tolong, Iqbaal ...."

"Aku merasa kamu bukan menyuruh aku untuk meninggalkan kamu (Namakamu). Aku merasa kamu sangat membutuhkan aku." Kalau boleh, Iqbaal ingin sekali menghapus air mata yang membanjiri pipi (Namakamu). Iqbaal bisa menebak apa yang sedang terjadi pada (Namakamu). Melihat (Namakamu) yang tiba-tiba berujar omong kosong dan menangis, membuat nama Dianty terlintas di kepalanya. Satu-satunya nama yang berhasil membuat kepala Iqbaal terasa berat. Iqbaal tahu takkan mudah baginya, apalagi untuk (Namakamu). "Aku mau berusaha bujuk dian--"

"Dari awal aku memang nggak pantas buat kamu. Kamu terlalu baik buat aku, Baal." (Namakamu) menarik kembali buku-buku yang Iqbaal singkirkan hingga sebagian wajahnya kembali terhalang. (Namakamu) menundukkan kepalanya.

"Kamu ngomong apa, (Namakamu)?" Iqbaal berniat menyingkirkan kembali buku-buku itu. Namun (Namakamu) menahannya.

"Yang pantas buat kamu ... bukan aku. Dianty. Dianty, yang pantas buat kamu, Baal."

Iqbaal membuang napas kasarnya. "(Namakamu). Yang aku sukai itu kamu. Bukan Dianty. Kamu dengar?"

Tidak ada jawaban apa pun dari (Namakamu). Jadi, Iqbaal kembali melanjutkan. "Kalau kamu mau mengakhiri ini, aku sama sekali nggak setuju (Namakamu)."

"Baal, tolong jangan--"

"Jangan paksa aku untuk menyukai Dianty. Ok?" Iqbaal menyela sebelum (Namakamu) selesai bicara.

"Dianty itu sahabat aku, Baal."

Iqbaal menahan giginya agar tidak bergelemetuk. Baik. Dia akan mendengarkan apa pun yang (Namakamu) katakan.

"Aku tahu dia menyukai kamu. Tapi ... aku udah jahat sama dia. Aku salah. Perasaan aku ke kamu ini salah. Harusnya, aku nggak pernah menyukai kamu. Harusnya, aku nggak pernah ada di antara kamu dan Dianty." (Namakamu) mengusap pipinya yang berair menggunakan punggung tangan. Air mata sialan itu tak kunjung berhenti. Entah sampai kapan. Dan rasanya, (Namakamu) sudah muak sekaligus malu. Seharusnya dia mengatakan hal itu dengan tegas di hadapan Iqbaal. Bukan dengan nada sumbang yang diselingi tangis. (Namakamu) semakin merutuki dirinya, yang bahkan ... dalam mengutarakan kegundahannya saja masih merasa tidak percaya diri. Karena memang, tak ada yang namanya kepercaya dirian ketika membohongi perasaan.

"Kamu nggak salah, (Namakamu)." Iqbaal menaruh kedua tangannya di antara sisi rak buku, dia memandang (Namakamu) lamat-lamat. "Hei. Lihat aku. Kamu nggak salah."

(Namakamu) memberanikan diri untuk ... sedikit mengangkat kepalanya.

Iqbaal menarik kedua sudut bibirnya. "Kalau nangis, kamu jadi jelek (Namakamu). Nggak cantik lagi," ujarnya. Iqbaal harap ucapannya pada (Namakamu) dapat sedikit menghibur. Sayangnya, (Namakamu) tetap murung.

I'm Not Yusuf AS [IqNam Series]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang