Die In Love

10 1 0
                                    

"Kita berhasil." Ucap Alika pada seseorang di seberang sana melalui telepon genggamnya.

"Kerja bagus. Ku kira kau wanita lemah."

Siulan diciptakan dari mulut Aslika. "Aku tak selemah itu."

"Tapi itupun dari bantuanku. Aku ingin membalas segala perlakuan yang diterimanya. Sekarang Ashika akan merasakan." Suara itu tak begitu jelas, namun sangat pasti bahwa dia adalah wanita.

"Terima kasih atas bantuanmu. Kita akan finalkan ini di promnight." Ucap Alika setelahnya mematikan sambungan sepihak.

Dimatanya terlihat tiga orang wanita dengan baju tahanan yang menutupi tubuhnya memasuki ruang penjara dimana Ashika ditempatkan. "Tahanan baru?" Tanya salah seorang wanita.

"Iya," Ashika membangkitkan tubuhnya.

"Patuhi aturan kami."

"Kenapa aku harus mematuhi kalian? Ini penjara yang tak ada aturan selain dari polisi." Ucap Ashika mengelak.

"Oh, melawan." Wanita itu menjambak kasar rambut Ashika yang membuat Ashika ingin berteriak, namun ia harus tetap diam agar tak ada penjaga polisi menghukumnya. Hanya bulir kristal dari matanya yang mengguyur pipinya.

"Lepaskan aku!" Bentak Ashika.

"Teruslah memohon, aku suka mendengarnya." Ucap wanita itu.

"Lepas!" Ashika melepas paksa tangan wanita itu dari rambutnya. Matanya memerah, merah jambu yang diiringi kristal air mata yang tampak indah jika itu kebahagiaan.

"Jangan mendekat! Kasus ku pembunuhan. Aku bisa membunuhmu disini." Ancam Ashika demi melindungi dirinya.

"Oh ya? Mari kita lihat seberapa besar nyalimu?" Tanya wanita itu terus mendekatkan tubuhnya pada Ashika yang telah terpojok oleh tembok dingin rutan.

Dua wanita yang lain menyeret Ashika hingga tergeletak di atas lantai yang terbuat dari tanah. "Apa yang mau kau lakukan?" Tanya Ashika dengan suara seraknya melihat pisau di tangan wanita itu.

Ashika terus memundurkan tubuhnya untuk menghindari itu, tapi apalah daya. Tembok-tembok itu menguncinya rapat. Dengan kasarnya wanita itu menarik tangan Ashika yang berusaha dilepaskannya. "Kau bilang apa tadi? Kau pembunuh? Aku tak percaya." Disayatnya lengan panjang milik baju Ashika sambil menunjukkan senyum terindahnya.

Baju indah berlengan panjang itu kini hanya tersisa lengan pendek sependek seutas tali. Tampak tangan yang berkulit putih bagai susu. Teriakan Ashika seakan tak terdengar oleh para penjaga di depan dengan jarak seratus meter.

"Teriaklah sekuat yang kau bisa. Penjaga tak akan dengar." Ucap wanita itu. Pipi lembut bagai salju itu diguyur banjir oleh air mata Ashika yang terus mengalir.

Wanita itu memberi isyarat pada kedua temannya...atau budaknya? Mereka berdua langsung menahan tubuh Ashika yang sudah tak layak lagi untuk dilihat. Tubuh terkunci kuat di atas tanah dengan posisi tubuh yang telentang. Tampak hewan kecoa di tangan wanita itu yang siap masuk ke dalam mulut Ashika. Ashika terus mempertahankan mulutnya agar tetap terkunci rapat demi enggan dimasuki oleh hewan yang menjijikan itu. Kakinya berusaha lari, namun ya, itu sulit. Tangannya ingin lepas tapi, kuatnya cengraman mustahil untuk lepas. Derai air mata Ashika membanjiri seisi penjara dan tawa terus menjalar ke dinginnya tembok tahanan.

"Buka mulutmu, pembunuh!" Ucap wanita itu memaksa bibir mungil dan lembut seperti kilau batu rubi. Kata-kata mereka seperti musik yang hilang arah menusuk bagai duri di telinga Ashika.

Serangga coklat dengan sayap kecil itu sudah siap masuk ke mulut Ashika, "Hey! Lepaskan dia!" Bentak seorang wanita dari arah lain yang tampak baru memasuki tahanan membuat tubuh Ashika lepas dari genggaman wanita-wanita bedebah. Bangkit dari rasa takutnya mengangkat tubuh yang tak terlalu kurus dan tak terlalu gemuk menutupi lengan halus dan putih seperti susu dengan tangannya.

Mata Ashika yang merah telah terguyur bulir permata hingga memenuhi pipinya. "Awas!" Wanita yang baru saja datang berhasil membuat tiga wanita dekat Ashika menyingkir menjauh dari pandangan Ashika.

"Apa yang mau kau lakukan?" Tanya Ashika dengan serak suara akibat menangis.

Tampak wanita itu mengambil kain yang tergantung di tembok belakang Ashika dan menutupi tubuh terbalut kemewahan tanah Ashika. Diserahkannya segelas air putih yang langsung masuk ke tubuh Ashika menjelajahi seisi perut.

"Jika ada yang berani menyentuh tubuhnya lagi, maka satu peringatan dariku. Mengerti?!" Bentak wanita itu yang membuat tiga wanita sekaligus tertunduk takut.

"S-si-siapa kau?" Suara sendat Ashika tampak jelas meskipun rasa takutnya telah diredamkan dengan segelas air.

"Aku Fatimah." Uluran tangan dari Fatimah tak dibalas oleh Ashika. "Tenang, aku wanita baik." Lanjut Fatimah melihat rasa takut masih menyelimuti Ashika.

"Ashika." Balas Ashika. Fatimah memilih duduk bersebelahan dengan gadis bermunculan berantakan dengan selimut putih di tubuhnya itu.

"Kau wanita yang baik. Terima kasih." Ucap Ashika.

"Sama-sama."

"Tapi kenapa kau masuk penjara?" Tanya Ashika memberanikan dirinya untuk bertanya tentang hal itu.

"Kau sendiri?" Fatimah malah berbalik tanya.

"Kau malah tanya padaku?" Ashika menghela nafas panjang. "Aku dituduh membunuh seseorang. Dia bukan musuhku, tapi mungkin aku musuhnya." Jelas Ashika menciptakan kerut kening Fatimah.

"Maksudmu?" Fatimah membawa tawa kecil pada pertanyaannya.

"Saat di kampus, dia selalu menggangguku. Padahal aku hanya diam. Entah kenapa. Apa mungkin dikehidupan sebelumnya aku punya salah padanya?" Pertanyaan Ashika membuat Fatimah tertawa yang disusul olehnya.

"Itu berarti dia mendapatkan imbalan atas perbuatannya. Tapi siapa yang membunuhnya? Bagaimana polisi bisa menuduhmu?" Tanya Fatimah.

"Ada rekaman cctv yang menunjukkan aku membunuh kejam dia." Jawab Ashika. "Dan rekaman itu asli." Lanjutnya.

"Bagaimana bisa?"

Sedikit senyuman Ashika pamerkan, "Lupakan aku, bagaimana denganmu?" Tanya Ashika.

"Kasus yang sama sepertimu." Jawab Fatimah.

"Kau dituduh membunuh orang lain?" Tanya Ashika memastikan kebenaran.

"Bukan lagi orang lain, anakku sendiri." Jawaban Fatimah membuat kerutan di dahi Ashika juga mulut Ashika yang menganga.

"Yang benar saja.."

"Itu memang benar. Aku dituduh membunuh anakku sendiri." Potong Fatimah sebelum Ashika melanjutkan ucapannya.

"Tapi bagaimana?" Tanya Ashika yang rasanya tak percaya akan apa yang ia dengar.

"Entahlah. Saat pulang dari pasar ku temukan dia dalam keadaan tak bernyawa dengan bermandi darah. Polisi menyelidiki kasus itu. Dan bukti menunjukkan aku yang membunuh putriku." Jelas Fatimah.

"Kenapa polisi mengira kau yang membunuh?"

"Ada sidik jariku pada pisau yang digunakan untuk membunuh putriku. Rasanya terpukul. Aku pasrah dengan keadaan. Hanya mengikuti apa yang waktu inginkan." Kaca dimata Fatimah hampir pecah mengguyur deras pipinya. Tundukkan kepalanya menunjukkan kepasrahan ia atas keadaan.

"Seharusnya polisi tau bahwa seorang ibu tidak mungkin membunuh putrinya sendiri. Tidak ada seorang ibu seperti itu. Jika memang ada, dia ibu yang tak pernah menerima pendidikan dunia." Ucap Ashika mencoba merasakan apa yang Fatimah rasakan.

"Ashika, hukum tidak pernah melihat dari sudut belas kasihan atau yang dapat dipikir logis. Mereka hanya melihat bukti bukan yang lain. Bahkan kasih sayang seorang ibu akan kalah saat bukti menunjukkan yang tidak semestinya." Jelas Fatimah membuat Ashika tertegun.

"Kau benar." Ucap Ashika.

"Makan siang akan segera mulai. Ayo keluar!" Petugas polisi datang membawa informasi sekaligus perintah.

"Pak, apa saya bisa menelfon? Saya ingin mengabari keluarga saya." Ashika meminta izin untuk menelfon keluarganya. Setidaknya agar mereka tak khawatir.

"Lakukan setelah makan siang!" Ucapan polisi itu terdengar tegas juga...membentak.

🗡🗡🗡

Die In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang