Chapter 0.3

552 56 5
                                    

@sewarsabulan




   Dahulu, Bandung itu adalah sumber kebahagian, ke indahan dan segala tentang bandung itu indah.
  
   Namun sekarang, Bandung hanya luka bagi Shabi dan Fikri. Bandung bukan lagi hanya sebatas kota. Namun memiliki arti makna yang mendalam bagi mereka.
  
   Kala, bandung membawa mereka ke dalam buaian asmara. Asmara bersama putih abu.
  
   "Bi, kalo suatu hari nanti kita pisah. Terus aku tiba-tiba lupa ingatan, hal apa yang bakal kamu inget dari aku. Bi?" Tanya fikri, di depan koridor kelas sambil melihat ke arah lapang, Shabi berfikir sebentar pertanyaan yang cukup membingungkan.
  
   "Kalo, kamu pernah nangis di pelukan aku dan kalo kita selalu janji buat sama-sama. Kamu tipe yang ngga akan lupa janji, kan. Fikri?" Jawab shabi membuat fikri tersenyum.
  
   "Kalo aku, kalo kamu hilang ingatan aku mau ingetin kalo kamu tuh cengeng banget terus kamu suka rusuhin aku kalo pake pdl. Emang dasar bocah." Ucap fikri sambil tertawa, mereka saling tersenyum.
  
   "Kalo kita hilang, dan berpisah. Hal apa yang bakal kamu lakuin fikri?" Tanya Shabi membuat fikri terdiam sejenak.
  
   "Aku bakal cari kamu, bi. Kemanapun aku bakal cari kamu." Ucap fikri serius.
  
   "Kalo setelah kita ketemu lagi dan aku udah beda enggak mau ketemu lagi, kamu bakal gimana fikri?apa kamu bakal kecewa?" Tanya shabi membuat fikri mengerutkan dahi nya.
  
   "Kecewa pasti, bi. Tapi kita sebagai manusia cuman berusaha kan? Takdir ngga ada yang pernah tahu." Ucap Fikri kemudian shabi mengangguk. Siang itu, perbincangan mereka terlalu berat, tapi. Itulah yang terjadi kedepannya.

     Kenangan itu memutar jelas di benak gadis tersebut, shabi berjalan ke arah terminal bus, dengan terburu gadis itu berjalan sambil mengusap air matanya, di sepanjang perjalanan shabi hanya diam. Mengingat semua kembali kenangan tentang dia dan fikri pada kala itu.

      Setelah sampai di apartment Shabi terdiam di atas kasur, memandangi sebuah kotak besar yang berisi tentang fikri dan kenangannya semasa sekolah menengah atas. Ia menghela nafas nya pelan sambil menatap langit-langit kamarnya.
     
      "Aku, sejahat itu ya fikri?kamu pasti sakit banget. Fikri." Ucap Shabi, Fikri pernah memiliki janji untuk kuliah dan tinggal di Japan. Namun apakah mungkin? Shabi hanya berharap segala maaf nya bisa ia tebus, walaupun itu sangat mustahil.
     
      Ponselnya berbunyi, memperlihatkan nomor tidak di kenal menelefon nya. Shabi bingung, ia segera mengangkat telefon tersebut karena takut penting.
     
      "Halo?" Suara khas lelaki itu terdengar dari sebrang sana. Shabi terdiam membeku tak percaya.
     
      "Shabi? Halo? Apa aku harus ngobrol pake bahasa Japan sekarang sama kamu?" Ucap nya kembali, suaranya terdengar lembut.
     
      "Aku lagi di jepang, aku mau kita ketemu. Bi" ucap nya kembali. Shabi terdiam menghela nafas sebentar kemudian memulai untuk angkat bicara.
     
      "Mau ketemu di mana?"

   Setelah percakapan tersebut, shabi buru-buru memakai mantel nya karena salju sebentar lagi turun. Tampak lelaki itu berdiri di ujung jalan dengan senyum yang khas nya. Hati shabi sangat sakit, sangat bahkan jika di katakaj hancur mungkin sudah.
  
   "Mau di taman, sana?" Tanya fikri kemudian shabi mengangguk. Shabi tak mengira bahwa dia datang kembali kesini, namun dengan keadaan tenang.
  
   "Aku waktu bulan kemarin test kuliah di sini, baru ada hasilnya sekarang. Jadi aku baru kesini sekarang bi, aku mau cari kamu, aku kangen bi. Bertahun-tahun aku cari kamu." Ucap fikri kemudian shabi hanya terdiam.
  
   "Gimana kabar kamu di sini?seneng?baik?gimana seru ngga? Masih suka mie ayam?di sini ngga ada mie ayam ya. Apa masih suka kebangun jam 3 pagi?" Tanya fikri seperti biasa, anak itu selalu bahagia bahkan fikri masih ingat apa yang shabi tak suka dan apa yang shabi sering lakukan. Shabi hanya terdiam, anak itu merasa canggung.
  
   "Baik, dan aku udah engga suka mie ayam atau kebangun jam 3 pagi." Jawab Shabi singkat kemudian fikri hanya mengangguk sambil tersenyum.
  
   "Rasanya, seperti kita kembali ke masa itu, ya bi? Maaf aku minta no kamu dengan lancang ke Sasa." Ucap fikri kemudian shabi terdiam.
  
   "Rasanya nggak pernah sama, fikri. Mau bagaimana pun. " Ucap Shabi sambil berdiri, air matanya hampir jatuh karena ia bingung, ia kecewa ia sedih dan ia tak mengerti apa yang ia rasa sekarang.
  
   "Bukan kemarin, sekarang ataupun besok. Semua udah selsai fikri." Ucap Shabi sembari pergi air matanya menetes jelas di jalan-jalan, menuju apartment. Fikri hanya terdiam menghela nafasnya.
  
   "Se sakit itu, kamu bi?"

Prihal Bandung Dan Luka Kita - Lee HeeseungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang