chapter 0.8

382 35 0
                                    

@sewarsabulan

        Mungkin, shabi memang terlalu sakit hingga ia denial untuk memaafkan fikri, dan mungkin fikri juga sakit. Tapi ia hanya ingin, shabi kembali padanya.
       
        Sore itu, di temani dengan salju yang turun di kota tokyo. Dering ponsel shabi berbunyi menampilkan nama fikri di sana. Shabi menghela nafas, butuh beberapa waktu sampai gadis itu yakin untuk mengangkat telefon dari lelaki di sebrang nya.
        "Halo" Ucap fikri kemudian shabi hanya terdiam.
       
        "Shabi, maaf kalo aku ganggu waktu kamu lagi. Tapi, boleh nggak aku jelasin sekali aja?sekali untuk yang terakhir kali nya. Untuk semua hal-hal yang menjadi luka kita." Ucap fikri dari sebrang sana penuh harap, shabi menghela nafasnya. Sebenarnya ia tak ingin mendengar hal-hal tersebut, karena mungkin akan cukup sakit mengungkit hal lama yang selalu menjadi luka untuk dirinya.
       
        "Dimana?" Tanya shabi singkat namun lelaki itu sangat senang, ia langsung memberi tahu lokasi tersebut.
       
        Shabi berjalan dengan mantel tebal dan sarung tangan, tak lupa sepatu boots karena memang, jalanan sudah di penuhi dengan salju. Dapat terlihat laki-laki itu menunggu di sebrang sana, mencari-cari kemudian shabi menghampiri.
       
        "Disini, duduk." Ucap fikri, kemudian shabi duduk.
        "Hal, apalagi yang mau kamu validasi. Fik?" Tanya shabi kemudian fikri menatap mata shabi penuh harap.
        "Saat itu, kamu ngira aku sama devina, ya bi?kamu kira aku jatuh cinta sama dia padahal nggak sama sekali, hal—"
        "—hal, yang selalu buat aku merasa sakit. Adalah tatapan mata kamu yang berbeda. Tatapan mata kamu yang sudah tak mau, saat itu aku kalut bi, aku liat kamu sama kak Raeevan. Aku liat, kamu lebih bahagia sama dia. Kamu lebih nyaman. Aku juga sakit bi. Makanya aku sama devina tapi itu gak berjalan semesti nya, aku gak jatuh cinta sama dia, rasa aku habis di kamu, bi." Ucap fikri
        "Soal, jemputan. Aku ngeliat devina bawa barang banyak, jadi aku bantu dia, tapi aku ga ngira sampe dia peluk-peluk aku pas aku lagi jalanin laju motorku. Aku kaget, aku juga sulit buat nolak karena itu lagi laju motor." Ucap fikri kemudian shabi terdiam.
        "Kamu, juga saat itu bahagia sama kak Raeevan kan?" Ucap fikri kemudian shabi menggeleng pelan.
        "Aku gak pernah bahagia, sama orang selain kamu. Fikri, sampai sekarang pun—"
        "—tapi, setelah denger itu, rasanya mungkin kita sama-sama punya luka masing-masing yang sama. Kamu tersakiti begitu juga aku. Tapi kita udah selsai fikri, kesalahpahaman ini nggak bisa di ulang jadi hal yang buat kita sama-sama lagi, makasih. Makasih udah menjelaskan hal itu." Ucap shabi kemudian fikri menunduk.
        "Aku, mau kita kembali kayak dulu bi. Aku selalu cari-cari kamu."ucap fikri kemudian shabi menghela nafasnya.

        "Kita udah selsai fikri, kesalahpahaman itu ninggalin luka besar bagi, aku fikri. Dari dulu, kamu memang engga pernah mau menjelaskan hubungan kita apa kan?sedang sekarang juga ataupun dulu aku ngga punya hak untuk minta kamu menjelaskan semuanya, karena aku ngga punya hak, karena aku ngga punya hak fikri—"

         "—bahkan aku obatin luka aku sendiri, dari basah sampe sekarang kering. Aku engga pernah minta obat dari kamu fikri, engga. Aku terlalu sakit, kamu nggak pernah validasi perasaan aku fikri. Bertahun-tahun, bertahun-tahun kamu ngga pernah jelasin kalo kita ini apa. Kamu cuman buat aku berharap fikri, dan aku harap kamu sekarang udah ikhlas. Ikhlas sama cerita yang kita sembuh in masing-masing." Ucap shabi kemudian ia bangkit dari tempat duduk nya. Ia menoleh ke arah fikri, menatap netra mata coklat nya sambil tersenyum.
         "Relakan-lah yang seharusnya tak untukmu." Ucap shabi kemudian anak itu meninggal kan fikri sendiri. Fikri bingung, memang dia sangat salah, hingga luka shabi tak bisa ia obati begitu saja.

Prihal Bandung Dan Luka Kita - Lee HeeseungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang